Mulai dari upaya mengungkap tabir di balik kasus, pelurusan sejarah, menyeret pelaku ke meja hijau, hingga soal ganti rugi kepada keluarga korban, hingga kini tak kunjung tuntas. Meski sudah diselidiki sejak beberapa tahun lalu.
Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan usai rapat membahas kasus-kasus tersebut bersama Menkum HAM Yassona Laoly, Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, menyatakan setuju agar dituntaskan secara hukum. Namun, Luhut berharap masyarakat lebih realistis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertanyaan saya, peristiwa 1965 itu siapa yang mau dihukum? Saya tanya begitu tadi (dalam rapat). Siapa yang mau dihukum? Siapa yang salah? Itu kan sebab akibat," lanjut Luhut.
Luhut menegaskan, pemerintah juga ingin secepatnya masalah kasus pelanggaran berat HAM masa lalu itu selesai. Salah satu upayanya dengan membagi tugas. Untuk 6 kasus dirampungkan Komnas HAM, sementara satu kasus yaitu di Papua tahun 2001 oleh Menko Polhukam.
"Biarlah dengan cara-cara kita, kita selesaikan. Sekarang sudah mau rampung, kita harap 2 Mei sudah bisa kita tuntaskan," ujar purnawirawan Jenderal TNI itu.
Luhut memaparkan alasan mengapa sebetulnya dia berharap agar kasus-kasus itu diselesaikan di luar pengadilan (non yudisial), atau secara rekonsiliatif antara negara dengan korban. Yaitu karena pengusutan atas pelaku dan bukti-bukti yang sulit digali.
"Sekarang mau mempermasalahkan siapa? Kita mau cari buktinya gimana? Makanya saya tantang kalau ada yang bisa bawa buktinya mau dihukum siapa, silakan saja. Kita adili kok," kata Luhut.
"Kan dibawa-bawa jadi (dianggap) sepertinya pemerintah tidak ingin tuntaskan, padahal Presiden ingin itu selesai dituntaskan. Saya sebagai Menko Polhukam ya tuntaskan. Kita cari alat buktinya nggak ada, makanya kita bawa itu ke non yudisial (di luar pengadilan-red)," tegasnya.
(miq/jor)