"Korupsi paling nyata adalah praktik pengadaan fasilitas publik yang mubazir ketimbang berguna tapi masih ada kebocoran," kata Teten dalam Seminar Nasional Anti-Corruption and Democracry Outlook 2016: Bersama Melawan Korupsi di Hotel Le Meridien, Jl Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (15/3/2016).
Ia mencontohkan, pembangunan waduk yang tidak terhubung dengan irigasi. Akhirnya waduk tak dapat dimanfaatkan maksimal. "Selama ini hal semacam itu belum dilihat sebagai kerugian negara," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persoalan yang terjadi dalam kasus tersebut menurut Teten sebetulnya sederhana. Yakni untuk menghubungkan transmisi ada aturan bahwa PLN tidak diperbolehkan menebang tanaman lebih dari 3 meter. Akhirnya setelah melakukan berbagai konsultasi, ditemukan solusi dan diputuskan untuk membayar ganti rugi kepada masyarakat yang totalnya senilai sekitar Rp 12 miliar.
"Begitu dibayar jadi tersangka. Sementara kerugian yang mungkin triliunan justru tidak dipandang sebagai kerugian negara," kata Teten.
Teten tak menyebutkan detail di mana kasus ini terjadi. Dia hanya mengatakan bahwa korupsi jangan hanya dilihat dari kebocoran anggaran, namun justru proyek pengadaan yang tidak diminati publik, nilai korupsinya lebih besar.
Untuk menutup peluang-peluang korupsi proyek, pemerintah saat ini menerapkan belanja di awal tahun sehingga proyek tidak dilaksanakan asal-asalan untuk menghabiskan anggaran. Sistem pengadaan barang dan jasa juga harus berbasis non tunai. Sehingga peluang korupsi yang biasanya dilakukan melalui uang tunai mulai tertutup.
"Karena selama ini praktik korupsi yang ditangani KPK menyangkut pengadaan barang dan jasa," katanya.
Tak hanya itu, pemerintah, lanjut Teten, terus berupaya melawan mafia migas, mafia ikan, mafia perdagangan, mafia impor fiktif dan sebagainya. "Ini pesan cukup keras untuk tidak kompromi dengan para pemburu rente yang tambah mapan," kata Teten. (khf/hri)











































