Gara-gara Beda 40 Jam

Anyonghaseo (4)

Gara-gara Beda 40 Jam

M Aji Surya - detikNews
Selasa, 15 Mar 2016 10:05 WIB
Gara-gara Beda 40 Jam
Foto: Istimewa
Seoul - Anyonghaseo. Kita sempat tertinggal hanya pada kisaran 40 jam. Tapi ketika jurang itu tidak dimampatkan maka akan melebar menjadi ketertinggalan dalam hitungan minggu, bulan, tahun bahkan abad. Semua tergantung bagaimana menyikapi keadaan.

Ketika Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada pagi 17 Agustus 1945, rakyat Republik Korea, saat itu, masih belum selesai dari selebrasi kemerdekaannya. Pekik-pekik kemerdekaan yang menggemuruh di angkasa Indonesia seolah bersahutan dengan pekik kemerdekaan di Semenanjung Korea. Maklumlah, kemerdekaan dua bangsa Ini terpaut bilangan 40 jam alias dua hari. Indonesia dan Korsel bangun tidur hampir pada saat yang bersamaan. Kemerdekaan Korea tercetus pada 15 Agustus 1945.

Suasana ruang publik di Seoul (Foto: M Aji Surya/detikcom)

Sebagaimana bangsa manapun, membangun negara dari reruntuhan penjajahan bukanlah pekerjaan yang gampang. Jatuh bangun dan rasa susah senang menjadi bagian dari sebuah takdir yang sulit dihindari. Banyak korban berjatuhan sebagai tumbal pembangunan di awal-awal tahun. Itu semua karena proses rekonsiliasi menjadi hal yang krusial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hampir dua puluh tahun kedua bangsa bergelut dengan tantangan. Di Indonesia, pemerintahan jatuh bangun dan dialektika paham kebangsaan menjadi perdebatan yang amat panas. Di Korea, setali tiga uang, demonstrasi demi demonstrasi berkecamuk sebagai proses pendewasaan. Bahkan, satu presiden harus tumbang diterjang timah panas.

Baru pada awal-awal tahun 1970-an, kedua bangsa mulai menemukan ritme pembangunannya. Kebangsaan Indonesia mulai solid dengan Pancasila-nya, sedangkan Korea mulai memahami pentingnya kerja kerja, disiplin, persatuan, kepedulian dan kemandirian masyarakat.

Suasana Busan, kota kedua terbesar di Korsel (Foto: M AJi Surya/detikcom)

Ketika Indonesia mulai membangun jalan tol Jagorawi di tahun 1973, pada saat yang sama Korsel malah dalam keadaan darurat militer karena ancaman komunisme. Waktu itu, Indonesia di bawah Soeharto dan Korsel di bawah Park Chung-hee, yang secara umum relatif memiliki karakter yang mirip.

Uniknya, perjalanan panjang bersama itu kini menyisakan gap yang amat lebar. Bayangkan, pendapatan per kapita Korsel tahun lalu berada pada $30 ribu, sedangkan Indonesia baru sampai pada kisaran angka $4 ribu. Jalan tol di Korsel mencapai 2.600 km, sedangkan Indonesia baru 950 km.

Sangat tidak adil membandingkan kedua bangsa hanya dari dua sisi di atas. Maklumlah jumlah penduduk misalnya, Indonesia punya 250 juta orang, sedangkan Korsel hanya 50 jutaan. Hanya saja, perlu diingat bahwa Korsel adalah negara yang senantiasa dalam keadaan siaga perang dengan negeri tetangga yang konon juga saudaranya sendiri.

Gaya anak Korsel (Foto: M Aji Surya/detikcom)

Yang jelas dan pasti, persaingan adalah sebuah kodrat yang tidak bisa dinafikan. Kita bersaing dengan teman sekelas, bahkan tetangga kita. Hasilnya bisa beda jauh, tetangga sukses menembus langit sementara yang lain gigit jari.

Di masa kini, persaingan menjadi sangat ketat, seperti dalam lomba formula satu. Kemenangan Hamilton dari tim Mercedes bisa jadi hanya terpaut kurang dari setengah menit dari Vettel yang menunggangi kuda jingkrak. Namun, bila Ferrari tidak cepat berbenah maka gap itu bisa melebar seperti yang terjadi antara Indonesia dan Korea. (try/try)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads