Sasando, Alat Musik yang Menolak Pembekuan Tradisi

Laporan dari Hong Kong

Sasando, Alat Musik yang Menolak Pembekuan Tradisi

Danu Damarjati - detikNews
Minggu, 13 Mar 2016 16:30 WIB
Foto: Danu Damarjati/detikcom
Kowloon - Tradisi terkadang dimaknai sebagai konsep yang beku, tak boleh diutak-atik, dan sakral. Inovasi menjadi langkah ilegal dalam laku tradisi. Namun pemahaman seperti itu tak sepenuhnya berlaku untuk sasando, alat musik dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sejatinya, 'inovasi' itu sendirilah yang merupakan tradisi pengembangan sasando. Bisa dibilang, inovasi sudah 'mengurat-nadi' sejak awal perkembangan sasando.

Ini dituturkan oleh Jeagril Pah, seniman sasando yang merupakan penerus generasi keempat dari pencipta sasando era awal. Pemuda 35 tahun ini menceritakan sejarah sasando, dia lebih suka menyebutnya 'sasandu', dimulai Abad 17.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sasandu yang tradisional itu adalah 10 senar," kata Jeagril di Prudential Hotel, 222 Nathan Road, Tsimshatsui, Kowloon, Hong Kong, Minggu (13/3/2016).

Dari cerita yang ia warisi turun-temurun, alat musik ini diciptakan oleh dua gembala bersaudara bernama Lunggi Lain dan Ballo Aman dari Pulau Rote. Notasinya diselaraskan dengan nada Gong Rote, bersistem nada pentatonik (lima nada). Kebetulan saja, pentatonik dari Gong Rote sama dengan nada ala Barat yakni 'la do sol mi re'.

Namun dua orang gembala itu terlalu sibuk mengutak-atik cikal bakal sasando itu sehingga mengabaikan ternaknya. Maka diabaikanlah alat musik yang terbuat dari daun pohon lontar itu, senarnya juga dari lontar yang dipilin.

Hingga suatu saat sekretaris raja bernama Pah Ndulu melihat alat musik yang diabaikan itu tergantung begitu saja di dinding rumah gembala itu. Pah Ndulu tidak lain adalah buyut dari Jeagril sendiri.

"Lama-lama, datang orang Portugis ke Pulau Rote. Mereka datang membawa biola dengan senar logam. Dimulailah barter senar logam dengan ternak yang dimiliki orang Rote. Maka sejak saat itu, senar logam dipakai di sasandu," tutur Jeagril.

Ada pula cerita yang agak berbeda, kali ini agak berbeda. Sasando diciptakan oleh sarisandu yang memainkan senar emas dan perak untuk memikat putri raja. Dengan kekuatan magisnya, putri raja akhirnya bisa jatuh cinta mendengar getaran dawai cinta itu.

"Senar itu diceritakan bernama Senar Swasa," kata Jeagril.

Kembali soal perkembangan sasandu versi non-legenda yang dimotori Pah Ndulu, akhirnya ilmu membikin dan memainkan sasandu diwariskan ke anak Pah Ndulu, bernama August Pah. Sasandu yang semula berdawai 10 dikembangkan menjadi 28 senar. Sasando periode ini sudah tak lagi pentatonik.

"Kadang-kadang kekurangan not, ditambahlah menjadi total 26 senar. Ditambah lagi menjadi 28 senar," kata Jeagril.

Datanglah era ayah Jeagril bernama Jeremias August Pah. Jeremias juga membikin inovasi lagi, yakni menjadikan sasando berdawai 32. Pada masa Republik Indonesia ini, Jeremias sempat meninggalkan aktivitas pembuatan sasando dan beralih menjadi pengrajin mebel.

"Hingga suatu saat datang pihak pemerintah dengan Bank BNI. Disuruh pihak Bank BNI mengembangkan sasando. beralihlah usaha mebel menjadi industri rumah tangga sasando," kata Jeagril.

Berkembanglah sasando dan mulai dikenal secara nasional. Hingga akhirnya sasando bikinan Jeremias pernah menjadi gambar di uang kertas pecahan Rp 5.000,-.

Jadi begitulah, tradisi sasando sudah dihidupi oleh ruh inovasi sejak era awal kelahirannya. Bahkan diam-diam, Jeagril juga sudah membikin sasando versinya sendiri.

"Saya sudah membikin, sudah jadi, sasandu 48 senar. Sistem nada kromatik empat oktaf. Saya beri nama 'The Last Sasandu Chromatic'," kata Jeagril.
Senar sasando diambil dari senar gitar biasa dan senar gitar yang dililit tembaga

Namun demikian, Jeagril masih menunggu waktu yang tepat untuk mengungkap sasandu hasil karyanya itu ke muka publik secara langsung. Soalnya, dia ingin terlebih dahulu mematenkan hak ciptanya.

"Aku mau itu dipatenkan dulu. Karena dipatenkan juga perlu biaya. Saya cari tahu di Kementerian Hukum dan HAM, itu biaya mematenkan adalah Rp 3 juta sampai Rp 5 juta," kata Jeagril.

"Dan itu yang bisa main juga cuma satu orang, saya saja," sambung Jeagril.

Sebagai analogi, sejarah gitar juga penuh inovasi, karena inovasi itu sendiri adalah tradisi Bangsa Barat. Gitar tradisional yang dibawa Bangsa Moor ke Spanyol sudah jauh berinovasi hingga kini. Dari gitar akustik tradisional, dimodifikasi menjadi gitar listrik, menjadi gitar yang sama sekali tak punya tabung resonansi, kemudian saat dimainkan musisi rock era kekinian suara gitar berubah totalΒ  dibanding gitar tradisional. Meski ada gitar bersuara parau dengan efek suara segala rupa, toh gitar klasik tradisional juga tetap ada.

Sama halnya dengan sasando. Meski sudah mengalami inovasi, namun toh sasando berdawai 10 juga masih tetap ada hingga kini. Biasanya dimainkan untuk acara-acara adat. Jeagril menyadari, pengembangan instrumen khas Indonesia ini adalah sesuatu yang tak bisa ditolak.

"Dikembangkan sejauh mungkin boleh, menurut saya. Tapi tradisinya tidak boleh ditinggalkan. Namun ada juga yang bikin model sendiri, sampai-sampai tidak lagi persis seperti sasandu lagi, kalau seperti itu maka orisinalitasnya dan ciri khasnya hilang," tutur Jeagril.

"Saya tidak menolak bermain sasandu pakai pedal efek dan amplifier, karena menurut saya sasandu itu universal, bisa memainkan lagu apa saja," ujar Jeagril.

Kini, Jeagril sudah melanglang buana ke sejumlah negara untuk memainkan Sasando. Salah satunya, dia kini sedang memainkan alat musik dari bambu,pohon lontar, dan kayu merah itu di 'Direct Promotion Indonesia in Hongkong 2016', di Mikiki Mal, Hongkong. (dnu/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads