Anomali yang Mencengangkan

Anyonghaseo (3)

Anomali yang Mencengangkan

M Aji Surya - detikNews
Kamis, 10 Mar 2016 16:14 WIB
Anomali yang Mencengangkan
Foto: Istimewa
Seoul - Anyonghaseo. Banyak hal sakral dan sensitif yang bersifat umum dalam kehidupan berbangsa. Korea Selatan adalah salah satu pengecualian. Aneh, tapi nyata.

Minggu lalu, lagu kebangsaan Indonesia Raya mengudara di sebuah universitas negeri di negeri ginseng. Seolah berada di wilayah yuridiksi Indonesia saja, lagu kebangsaan Korea tidak diperdengarkan. Padahal di pojok panggung terlihat sebuah bendera Korsel. Saya mengerutkan dahi.

Ketika lagu Indonesia Raya hendak dikumandangkan, sebagaimana lazimnya, sang pemandu lagu atau dirigen meminta hadirin untuk berdiri. Dan semua  patuh. Beberapa orang Korea yang hadir yang notabene adalah sponsor acara, dengan takzim juga mengikuti lagu melalui tayangan video. Tanpa protes. Tanpa rasa masygul.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Foto: M Aji Surya/detikcom

Bukan hanya itu, karena yang datang banyak WNI, maka mayoritas pidato menggunakan bahasa Indonesia, tanpa terjemahan. Yang lebih unik lagi, seorang warga Korea yang pernah lama tinggal di Indonesia, saat di panggung justru sama sekali tidak menggunakan bahasa Korea ataupun Inggris. Dia lebih peduli dengan pemirsa asing daripada teman sebangsa sendiri. Dan, acara berjalan lancar meskipun para sponsor berkulit kuning itu mungkin hanya paham 10 persen.

Peristiwa tersebut memang cukup unik bagi saya. Di banyak tempat, nilai toleransi itu selalu dikedepankan. Apalagi kepada kelompok minoritas. Lihat saja di Indonesia, kadang hanya karena dua tamu bule saja, banyak yang kemudian berpidato menggunakan bahasa Inggris. Seperti sebuah kewajiban moral saja. Akibatnya, bisa jadi yang mayoritas tidak paham dan yang minoritas pun bingung. Maklumlah, orang bule sering diasosiasikan dengan orang Inggris dan Amrik, padahal banyak bule tidak kenal bahasa Inggris. Duh.

Kembali ke laptop. Fenomena "anomali" di Korea juga terjadi pada isu penghargaan terhadap pemeluk agama lain. Islam misalnya. Maklumlah, kisaran separuh dari Warga Korsel beragama nasrani dan Buddha. Hanya segelintir yang memeluk Agama Islam. Selebihnya mungkin tidak percaya adanya Tuhan.

Namun demikian, apakah mereka mengalami Islamphobia? Saya kira No. Mereka mempersilakan umat Islam untuk beribadah dengan leluasa. Mau jumatan, Idul Fitri maupun pengajian. Hebatnya lagi, pembangunan rumah ibadah bukan sebuah isu, apalagi persoalan. Jauh berbeda dengan negara barat pada umumnya yang mencoba membatasi gerak Islam baik secara langsung maupun tidak.

Di Korea Selatan, umat Islam Indonesia (WNI) saja bisa memiliki 50-an masjid dan musala. Mereka boleh beribadah  5 kali sehari. Bahkan bisa tambah salat sunnah kalau mau. Sak karepmu. Azan, mengaji dan tahlilan tidak dipersoalkan manakala tidak mengganggu lingkungan. Bahkan terdapat musala WNI berada di lantai dua yang bawahnya dipakai untuk salon kecantikan. No problem at all.

Yang mencengangkan, pemerintah sangat support kegiatan pengajian yang menghadirkan ribuan orang. Salah satu kelompok Islam WNI di sana setiap tahun mengadakan dua kali pengajian akbar yang menghadirkan seorang kiai kondang dari tanah air. Pengunjungnya selalu di atas 5.000 jamaah. Dan polisi Korsel dengan senyum ramahnya ikut menertibkan, alias menyukseskan acara sampai tuntas.

Suasana pengajian di Seoul (Foto: M Aji Surya/detikcom)

Saya pun sempat mendiskusikan fenomena "anomali" di atas dengan beberapa orang yang saya anggap pintar. Kesimpulannya cukup mengagetkan. Toleransi yang begitu tinggi itu sebenarnya merupakan manifestasi keinginan Korsel untuk merangkul siapa saja. Mencari teman sebanyak-banyaknya menggunakan cara pikir positif. Jauh-jauh membuang rasa curiga, apalagi sebuah kebencian. Yang dikembangkan adalah cinta, cinta dan cinta.

"Hanya melalui cinta, manusia bisa bekerja sama. Hanya dengan kerja sama orang bisa meraup banyak keuntungannya," katanya.

Sebuah teori komunikasi juga menyebutkan bahwa berpikir positif itu akan mendatangkan respons positif. Waspada akan berhadapan dengan waspada. Kebencian hanya akan mendatangkan kebencian. Kata perang juga tidak pernah bermesraan dengan kata cinta.

Jadi benar, kata orang Inggris yang menyebutkan "you are what you think". Atau dalam ajaran Islam dikatakan bahwa Tuhan itu seperti apa yang dipersangkakan hambanya. Apa yang kita pikirkan dan sangkakan itulah yang akan jadi kenyataan. Karenanya lebih baik berpikir positif. (try/try)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads