Pria kelahiran 15 Maret 1983 itu berangkat dari Bima, Nusa Tanggara Barat, pada Maret 2012. Busron diajak Rahmat untuk menggunakan kapal laut selama 18 jam dan sesampainya di Makassar dan diteruskan dengan perjalanan udara keesokan harinya ke Palu. Dari bandara, perjalanan dilanjutkan dengan kendaraan umum ke sebuah masjid dan dijemput sebuah mobil pribadi. Busron dan Rahmat diturunkan di sebuah jembatan kayu di Dusun Wiralulu dan perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki.
Setelah beberapa jam jalan kaki, keduanya istirahat di sebuah pondok di tengah hutan dan bertemu Pak De alias Santoso alias Abu Wardah alias Komandan. Di pondok itu, mereka menginap selama 3 hari 2 malam. Pada hari ketiga, Busron dan Rahmat dijemput tiga orang untuk berangkat ke kamp militer yang berada jauh di tengah hutan. Mereka ramai-ramai jalan kaki menyusuri hutan belantara yang sangat rimbun hingga sampai ke sebuah tanah datar di tengah hutan. Di tempat itu telah berkumpul 14 orang yang kemudian dipecah menjadi tiga regu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah dirasa cukup, latihan dibubarkan dan mereka pulang ke tempat masing-masing. Busron pulang ke Bima dengan jalur darat dan dilanjutkan dengan menggunakan kapal laut.
Busron belakangan membeli bahan dasar bom dan disembunyikan di kos-kosannya di Kampung Na'e, Kota Bima. Tapi baru membeli 5 kg pupuk urea, ia ditangkap polisi. Busron lalu diterbangkan ke Jakarta untuk diadili.
Pada 13 Januari 2016, jaksa menuntut Busron selama 6 tahun penjara. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) menyatakan Busron terbukti melakukan kejahatan terorisme.
"Menjatuhkan hukuman selama 4 tahun penjara," ucap majelis sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Selasa (8/3/2016).
Duduk sebagai ketua majelis Sabaruddin Ilyas dengan anggota Abdul Hutapea dan Ida Marion. Majelis sepakat hal memberatkan terdakwa adalah perbuatan Busron membahayakan pemerintah dan masyarakat banyak serta tidak mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme.
"Hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum, bersikap sopan dan menyesali perbuatannya," putus majelis pada 10 Februari 2016. (asp/nrl)