"Dengan memberlakukan kembali GBHN, berarti menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi. Hal ini tentu bertentangan dengan sistem presidensial yang kita anut," ucap Prof Dr Saldi Isra, dosen Universitas Andalas Padang dalam diskusi di Jakarta, Jumat (4/3/2016).
Kemudian Saldi memberikan saran, jika memang GBHN ingin kembali diberlakukan, maka semua harus sepakat untuk menjalankan konstitusi yang terdahulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya di tempat yang sama, mantan Ketua MK Mahfud MD juga menyampaikan Indonesia bukannya tanpa GBHN. Karena ada UU nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Beleid ini kemudian dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), yang diatur dalam UU.
"Kalo mau bicara subtansi, kita sudah punya. Tapi bentuknya berbeda-beda. Bentuk hukumnya beda, UU sekarang digunakan karena Tap MPR sudah tidak berlaku untuk menetapkan. Tapi UU sama derajatnya dengan Tap MPR," jelas Mahfud. (dra/dra)











































