Sosok-sosok Tak Biasa di Balik Kamera

<I>Anyonghaseo</I> (1)

Sosok-sosok Tak Biasa di Balik Kamera

M Aji Surya - detikNews
Kamis, 03 Mar 2016 16:28 WIB
Seoul - Anyonghaseo. Kaget, hanya itu kosa kata yang tepat. Di kota Ansan, 40an km dari ibukota negeri ginseng, awal tahun ini saya melihat pemandangan aneh. Seseorang terlihat memotret sebuah perhelatan seni open air. Kameranya bertumpuk-tumpuk, panjang seperti jurnalis sepakbola piala dunia yang mencoba membidik bola yang akan masuk gawang.

Uniknya, arena acara di Ansan ini relatif sempitΒ  dan penonton pun bisa leluasa ke sana ke mari. Jadi terpikir, untuk apa zoom kamera yang demikian canggih? Toh dengan kamera biasa juga bisa dapat gambar bagus.

Mungkin, saya yang katrok dengan alat-alat yang harganya bisa lebih 10 ribu dolar AS itu. Pikiran saya lalu melayang ke Yogyakarta. Teman-teman saya, kuli tinta di sana sering hanya mengandalkan hape untuk mengambil gambar untuk momen yang sangat spesial. Kasihan deh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Foto: M Aji Surya

Rasa kaget saya belum sempat hilang, seorang teman memberitahu bahwa sang pemotret itu adalah seorang WNI. Hm, saya pun galau, apakah yang bersangkutan adalah seorang jurnalis dari media papan atas? Tapi dari penampakannya kok bukan jurnalis sih. Cuma kesibukannya membidik sana sini sungguh memperlihatkan betapa ia seorang yang serius.

Seperti halilintar yang menyambar ubun-ubun di musim penghujan, saat saya tahu bahwa sang "jurnalis" itu sejatinya adalah seorang TKI. Wuihhh edun pisan. Tidak pernah terbayang apalagi mimpi ini semua bisa terjadi. Seorang TKI punya kamera bertumpuk dan mengoperasikannya dengan elegan. Saya berdecak kagum. Mlongo. Hilang ingatan. Hampir pingsan.

"Welcome to Korea," seorang teman berbisik di telinga kanan. "Jangan kagetan. Biasa saja. Anda di Jakarta memang tidak punya kamera mahal. Di sini kamera bertumpuk hanya jadi mainan para TKI," imbuhnya yang membuat saya tersadar akan pengetahuan diri yang cetek. Muka saya pun memerah menahan rasa malu.

Foto: M Aji Surya

Pulang dari Ansan, saya mencari jawaban atas fenomena yang di siang bolong dengan suhu di bawah 5 derajat Celcius itu. Berbagai literatur dibaca dan aneka buku dicoba dicerna dengan serius.

Ya, akhirnya ketemulah jawaban itu. Ternyata, TKI kita di Korea memiliki gaji yang lumayan aduhai. Sebagai pekerja, TKI mendapatkan perlakuan yang bagus. Gaji mereka per bulan, menurut UMR Korea 2016 pada kisaran Rp 13 juta. Upah lembur bisa mencapai Rp 9 jutaan. Sedangkan mereka yang rajin masuk kerja malam bisa meraup tambahan Rp 3,5 juta. Tempat tinggal dan logistik dasar disediakan.

So, saya hitung-hitung, pekerja kita dengan kualifikasi paling rendah pun bisa meraup kisaran Rp 25 juta. Dan, kalau hidup secukupnya maka bisa nabung Rp 20 juta per bulan, atau 240 juta per tahun. Ruarrr biasa.

Lebih elok lagi mereka yang tergolong mahir atau kerja dengan kecakapan khusus atau di tempat yang berbahaya. Pendapatan minimal mereka bisa di atas Rp 30 juta. Padahal, umumnya pekerja kita di Korea adalah lulusan Sekolah Menegah Atas, bukan sarjana.

Foto: M Aji Surya

Pendapatan yang begitu menggiurkan sejajar dengan kesejahteraan. Tatkala perut sudah terisi dan kantong cukup tebal, maka hobi pun muncul. Mulai ngafe, karaokean, hingga mengembangkan seni fotografi dengan alat-alat yang super canggih. Tidak hanya itu, ada segelintir pekerja yang suka minuman keras dan akhirnya mabuk.

Saya jadi sadar bahwa ternyata tidak semua TKI itu sengsara. Tidak semua TKI dipukuli majikan. Tidak semua pekerja di luar negeri hidup penuh kepedihan. Masalahnya hanyalah, apabila TKI di Korea itu habis kontraknya lalu harus pulang ke kampungnya, apakah tetap bisa bergaya jurnalis internasional, atau malah menjual kameranya? (try/try)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads