"Di Hong Kong bikin perpustakaan, namanya 'Abatasa'. Perpustakaannya berjalan, kadang kita samperin di mana TKI berkumpul. Kadang di pinggir laut, kadang di kolong jembatan, atau di taman-taman," kisah Heni kala berbincang dengan detikcom di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Minggu (28/2/2016).
(Baca juga: Wajah 16 Anak Muda Indonesia yang Masuk Daftar Forbes)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Heni berbaju dan kerudung biru (Foto: Farhan/detikcom) |
"Aku juga menulis buku, sudah ada 17 buku di Hong Kong dan di Indonesia," ungkapnya.
Dalam pelbagai tulisannya, Heni memakai nama pena, 'Heni Jaladara'. Total penghasilan dari menulis dan bekerja domestik itu selalu disisihkan untuk membeli buku. Selama 6 tahun di Hong Kong, Heni sudah membeli dan 'melahap rakus' lebih dari 3 ribu buku.
"Sebagian itu hadiah dari lomba karya tulis," tutur Heni.
Buah-buah manis dari benih perjuangannya mulai bermunculan. Selain berhasil lulus cumlaude dan menggondol gelar Bachelor of Science dari jurusan Entrepreneurial Management dari Saint Mary's University, Hong Kong, Heni juga masuk dalam salah satu penulis yang diundang di Ubud's Writers and Readers Festival (UWRF) 2011. Jadi, Heni tak langsung pulang ke Ciamis dari Hong Kong, tapi mampir dulu ke Bali.
"Ikut Ubud's Writers and Readers Festival di Bali, itu tingkat internasional, tentang sastra. Tapi sempet dicibir, dipandang sebelah mata. Karena mungkin aku cuma sarjana yang kuliah sambil jadi TKI. Tapi itu justru bikin aku semangat. aku pengen buktikan kalau TKI juga berkualitas. Peserta dari Indonesia itu ada ratusan tapi yang dipilih, diseleksi cuma 15 orang. Alhamdulillah aku masuk dalam 15 orang itu dari Indonesia," tuturnya.
(Baca juga: Heni Sri Sundani, Mantan TKW yang Mendunia karena Peduli Pada Anak Petani)
DI ajang UWRF, dirinya menjadi salah wakil penulis Indonesia, bersama dengan penulis mancanegara. Buku berjudul "Surat Berdarah untuk Presiden" karyanya tentang kehidupan para TKI di Hong Kong dibahas dalam forum itu.
"Tulisanku yang berjudul 'Surat Berdarah untuk Presiden' mendapatkan banyak apresiasi dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris," jelas dia.
Dari Bali ke Ciamis, Heni bukannya senang malah sedih. Ditinggalkan selama 6 tahun, kampung Heni di Dusun Rancatapen tak ada perubahan sedikit pun.
Heni berbaju dan kerudung biru (Foto: Farhan/detikcom) |
"Pulang ke kampung, bikin sedih. Tidak ada yang berubah. Jalanan masih rusak. Teman-teman sudah banyak yang jadi bapak dan ibu. Lalu berbekal buku-buku yang aku bawa segera aku dirikan perpustakaan di rumah orang tua, namanya 'Gudang Ilmu'. Ini perpustakaan pertama di kampung," ceritanya.
(Baca juga: Masuk dalam Daftar Forbes, Ini 16 Anak Muda Indonesia yang Mendunia)
Belum, belum selesai mimpi Heni. Semesta mendukungnya dan mempertemukannya dengan suami yang 'satu frekuensi', Aditia Ginantaka dan mimpi memutus rantai kemiskinan pada keluarga petani.
Bagaimana perjuangan Heni dan Aditia? Simak di artikel selanjutnya. (nwk/mad)












































Heni berbaju dan kerudung biru (Foto: Farhan/detikcom)
Heni berbaju dan kerudung biru (Foto: Farhan/detikcom)