Kasus bermula saat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menerima adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan sejumlah provider seluler di Indonesia. Pasal 5 berbunyi:
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tarif SMS pada periode 1994-2004 adalah sama untuk semua operator off-net (lintas operator) maupun on-net (antar operator), yaitu sebesar Rp 350 untuk prabayar. Memasuki 2005, persaingan mulai muncul dengan membedakan tarif off-net (lintas operator) maupun on-net (antar operator).
Biaya SMS ini diatur dalam UU Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, Keputusan Menteri Nomor 21/2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, Peraturan menteri Nomor 8/2006 tentang Tarif Interkoneksi dan Peraturan Menteri Nomor 12/2006 tentang Tarif Stasiun Telepon Seluler. Semua regulasi itu mengatur besaran tarif telekomunikasi diserahkan sepenuhnya kepada operator dengan mengacu pada formula dan susunan tarif yang ditetapkan pemerintah.
Untuk menjamin keterlangsungan interkoneksi antar operator, mereka melakukan perjanjian kerjasama interkoneksi dengan operator lainnya. Nah, belakangan terjadi kesepakatan yang tidak dibenarkan dalam menentukan tarif ini. Operator baru akan membuat harga SMS lebih murah dari harga tarif SMS yang dikelola operator yang sudah ada. Perbedaan harga ini sangat sensitif sehingga dapat menimbulkan spamming.

Akibat permainan kartel ini, konsumen dirugikan karena konsumen seharusnya dapat menikmati tarif SMS yang lebih murah sehingga konsumen dapat mengirim SMS yang lebih banyak dan akan lebih banyak segmen masyarakat yang dapat menggunakan layanan SMS.
"Tim pemeriksa menilai pada periode 2004-2007 telah terjadi kartel tarif SMS off-nett," ujar KPPU dalam keputusan nomor Nomor 26/KPPU-L/2007.
Atas temuan ini, KPPU memanggil para pihak yang diduga melakukan kartel tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan secara mendetail, pada 17 Juni 2008 KPPU memutuskan empat operator seluler bersalah karena melakukan kartel harga dan dihukum masing-masing Terlapor I (PT Excelkomindo Pratama, Tbk) sebesar Rp 25 miliar, Terlapor IV (PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk) sebesar Rp 18 miliar, Terlapor VI (PT Bakrie Telecom) sebesar Rp 4 miliar dan Terlapor VII (PT Mobile-8 Telecom, Tbk) sebesar Rp 5 miliar. PT Telekomunikasi Seluler dihukum Rp 25 miliar.
Atas keputusan KPPU ini, para operator keberatan dan menyatakan banding ke PN Jakpus. Dalam putusan nomor perkara 03/KPPU/2008/PN.JKT.PST, PN Jakpus membalik keadaan. Dalam vonis yang dibacakan pada 27 Mei 2008, majelis hakim memutuskan membatalkan keputusan KPPU itu.
Mendapati keputusan ini, giliran KPPU yang mengajukan kasasi ke MA. Apa kata MA?
"Mengabulkan permohonan kasasi KPPU," demikian lansir MA dalam websitenya, Selasa (1/3/2016).
Perkara ini diadili oleh hakim agung Syamsul Maarif SH LLM PhD sebagai ketua majelis, dan hakim agung Dr Abdurrahman dan hakim agung I Gusti Agung Sumanatha selaku hakim anggota. Putusan 9 K/Pdt.Sus-KPPU/2016 diketok pada 29 Februari 2016 kemarin. (asp/nrl)