"Dalam konsep ini saya memandang pendekatan dengan pendekatan kebudayaan. Bagaimana dari komunikasi, penampilan yang persoalan sehari-hari. Di situ yang menjadi tempat toleransi agama yang dikembangkan," ujar Dedi dalam acara Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (23/2/2016).
Dia mencontohkan ketika seringkali berkomunikasi dengan pendeta di Purwakarta. Meski seorang muslim, namun Dedi mengaku sering berkomunikasi dengan warganya yang beragama kristen dengan ceramah di gereja-gereja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, dia menegaskan bila menjadi seorang pemimpin termasuk kepala daerah maka harus ada keyakinan dalam melindungi warganya. Ditekankan olehnya, seorang pemimpin jangan sampai dipecah yang kemudian berujung potensi konflik.
Seorang pemimpin, menurutnya, mesti bisa bersikap sesuai keyakinannya. Berani mengambil risiko meski ada desakan dari pihak yang intoleransi. "Seorang pemimpin itu berdiri di atas konstitusi. Keyakinan yang dimilikinya tak boleh menjadi keyakinan negara," tuturnya.
Lanjutnya, kata dia, kebudayaan yang ada di daerah jangan melupakan kultur budaya leluhur. Secara prinsip, dia mengacu hal ini. Selama ini, Dedi melihat budaya yang dipakai Indonesia sudah mengadopsi atau mengimpor dari luar negeri. (hat/aan)