Pemerintah perlu merespons secara memadai agar tak terjadi clash of ideology yang ke depan justru berpotensi negatif dalam pemerintah Indonesia.
"Untuk mencegah terjadinya disintegrasi di masa depan, dua atau tiga dekade perlu ada strategi kebudayaan yang menyeluruh dan berkesinambungan," ujar peneliti senior LIPI, Anas Saidi dalam diskusi 'Membedah Pola Gerakan Radikal di Indonesia, di Gedung Sasana Widya Sarwono, LIPI, Jakarta, Kamis (18/2/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimana mengembalikan corak keagamaan yang jadi trade mark Islam di Indonesia yang moderat, inklusif dan sikap toleran atau Islam rahmatan lil alamin," sebut Anas.
Lalu, yang terpenting adalah mengembalikan peran Pancila secara maksimal sebagai alat kritik terkait seluruh kebijakan yang tak memperlihatkan inkonsistensi. Peran Pancasila mesti dioptimalkan ke semua lini masyarakat karena secara eksternal bisa memadukan dan mereduksi kecenderungan paham ekstrim yang tak menguntungkan.
"Secara internal, ideologi terbuka Pancasila harus diperankan maksimal. Pemahaman puritanisme yang merubah formula religiositas yang inklusif, toleran, anti nasionalisme, anti demokrasi harus dihilangkan," ujarnya.
Sementara, peneliti senior LIPI Hamdan Basyar diperlukan peran media sosial dan jurnalisme damai membantu menangkal gerakan radikal. Kehadiran media sosial tak bisa dianggap remeh karena kekuatannya bisa mendorong suatu perubahan dalam masyarakat.
Ia mencontohkan sikap masyarakat Indonesia terutama DKI Jakarta yang bisa berpikir positif pasca bom Thamrin. Sikap tak takut dan tetap berpikir positif terhadap bom yang terjadi awal tahun ini patut dicontoh.
"Hastag kami tidak takut di hari yang sama menyebar ke media sosial. Itu luar biasa bagaimana sikap masyarakat saat itu," tuturnya.
(hat/hri)