Hal ini menjadi salah satu bahasan dalam diskusi 'Membedah Pola Gerakan Radikal di Indonesia' yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Gedung Sasana Widya Sarwono, LIPI, Jakarta, Kamis (18/2/2016).
"Berkembangnya ini karena kejadian 9 September 2001 lalu invasi Amerika ke Afganistan, kemudian ke Irak mengubah peta mempengaruh paham ini. Di Indonesia sendiri, makin subur sejak Reformasi," ujar peneliti senior LIPI, Endang Turmudi, di acara tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya, lulusan mahasiswa dari universitas di Arab Saudi yang disinyalir memungkinkan transfer pemikiran Ihwanul Muslimin serta Wahhabi.
"Dua organisasi ini, Ihwanul Muslimin dan Wahhabi punya pemahaman sama, keharusan mendirikan negara Islam," sebutnya.
Menurutnya, pengaruh kedua organisasi ini cukup besar di Indonesia. Dari kalangan mahasiswa sampai masyarakat umum terpengaruh konsep transfer pemikiran organisasi tersebut.
Sementara, Indonesia sendiri masih lengah dalam perkembangan masuknya paham radikal ini. Bahkan, disinggungnya ajaran radikal ini misalnya masuk ke tingkat taman kanak-kanak (TK).
"Ada TK di Malang, yang anak-anak dilarang memberikan hormat kepada bendera merah putih karena dianggap musyrik. Hukum pemerintah dianggap sebagai thogut," ujarnya.
Kalangan mahasiswa menjadi incaran karena kelompok ini muncul tanpa ada kecurigaan. Hal ini bisa lahir kelompok radikal yang lebih terpelajar. Disebutnya, dalam penelitiannya berdasarkan pengakuan mantan aktivis Negara Islam Indonesia (NII), kalangan mahasiswa menjadi incaran.
"Seorang mantan aktivis NII misalnya menegaskan NII bisa masuk ke kampus di Indonesia. Hampir semua kampus di Indonesia diklaim digarap NII, makanya banyak mahasiswa jadi anggota NII," ujarnya.
Sementara, peneliti senior LIPI lain, Anas Saidi mengatakan paham radikal ini karena doktrinasi yang salah tafsir. Namun, pergerakan paham radikal ini diakui sudah ada di berbagai lini yang potensial salah satunya lewat jalur mahasiswa.
"Ini semakin sistematis gerakan fundamentalis di hampir semua lini masyarakat, salah satunya mahasiswa. Adanya ini tanpa diimbangi respon yang memadai dari kelompok moderat, ataupun negara," sebut Anas.
Dia pun berharap agar Pancasila tak mengalami krisis legitimasi maka perlu dilakukan revitalisasi ganda sebagai acuan berbangsa. Peran Pancasila dan paham nasionalisme mesti dioptimalkan agar membentengi paham ekstrim yang tak menguntungkan.
Bila tak dilakukan pencegahan sejak dini, Ia mencontohkan bisa ada perpecahan seperti di Mali, Afrika Barat.
"Itu negara muslim yang dielu-elukan sebagai negara Islam paling demokrasi, sekarang seperti tak berdaya, hancur karena kelompok fundamentalis yang memaksakan syariah Islam versinya sendiri," tuturnya. (hty/hri)