Dalam video yang beredar di YouTube dan yang ditunjukkan pada detikcom, latihan dopper memang cukup berbahaya. Prajurit harus merangkak cepat di tengah kubangan lumpur sambil dihujani tembakan dari sisi kanan dan kiri. Posisi tembakan berada di jalur sendiri. Sedikit saja si penembak atau prajurit lengah, maka peluru tajam bisa bersarang di tubuh.
Begitu pun dengan latihan Marinir. Mereka menggunakan peluru tajam untuk menembaki prajurit dari sisi kanan dan kiri. Meski begitu, latihan ini dianggap sesuatu yang biasa. Ada materi lain yang lebih berbahaya dan biasa dilakukan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penembaknya harus punya kualifikasi, nggak semua prajurit punya kualifikasi penembak dopper. Karena psikologis, fisik, kemampuannya ada kriteria sendiri," terang Suwandi saat berbincang dengan detikcom.
Suwandi menegaskan, untuk menjadi pelatih dopper tidak bisa sembarangan. Mereka harus melalui serangkaian tes. Dia mencontohkan, dari 150 orang, hanya 20 orang yang lolos. "Tiap tahun ada tes. Saya dulu termasuk salah satu pelatihnya," imbuhnya.
Menurut Suwandi, penembak dan peserta latihan kadang bisa sama-sama tegang. Namun dengan latihan rutin, hal itu bisa dihilangkan.
Apakah pernah ada prajurit yang tertembak? Suwandi menyebut ada. Namun insiden itu biasanya terjadi karena kelengahan prajurit dan tidak mengikuti instruksi dengan benar. Meski ada yang terkena peluru, namun tidak ada yang meninggal dunia.
"Kalau salah sedikit atau tidak melakukan instruksi dengan benar bisa fatal. Karena jarak peluru dengan badan paling cuma satu jengkal. Kalau dia gerak salah sedikit, nengok, atau bahkan berkedip bisa fatal. Walau nggak mati, bisa kena," terangnya.
"Ada beberapa kejadian kayak gitu (tertembak) karena prajurit atau siswa lengah. Dari dari beberapa periode belakangan nggak lagi, tapi emang pernah ada, karena ada prajurit yang lengah atau tidak mengikuti instruksi pelatih. Tapi nggak ada yang sampai meninggal. Kuncinya satu, disiplin sama mengikuti instruksi pelatih," sambungnya.
(elz/mad)