PuKat UGM: Revisi UU KPK Hasil Barter Pemerintah dengan DPR

PuKat UGM: Revisi UU KPK Hasil Barter Pemerintah dengan DPR

Sukma Indah Permana - detikNews
Jumat, 12 Feb 2016 13:33 WIB
Foto: Lamhot Aritonang
Yogyakarta - Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM kembali menyatakan penolakannya atas Revisi Undang-Undang KPK. Melihat perjalanan panjang selama ini, rencana ini dinilai sebagai kesepakatan 'haram' pemerintah dan DPR membarternya dengan RUU Pengampunan Pajak.

"Revisi ini patut diduga merupakan kesepakatan haram dua institusi yang melakukan barter sehingga secara langsung korbannya adalah institusi KPK," ujar salah seorang peneliti PUKAT UGM Fariz Fachryan.

Hal ini disampaikan Fariz kepada saat menggelar jumpa pers bertajuk 'Tolak RUU Penghancuran KPK' di kantornya, Bulaksumur, Sleman, Jumat (12/2/2016). Jika menengok kembali ke belakang, pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK pada 13 Oktober 2015.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kesepakatan ini tercapai setelah Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR bertemu dalam rapat konsultasi di Istana Negara.

"Pada 27 November 2015, DPR dan pemerintah melalui rapat baleg bersepakat membarter Revisi UU KPK yang tadinya merupakan inisiatif pemerintah dan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty) merupakan inisiatif DPR menjadi sebaliknya," ulasnya.

Hingga pada 15 Desember 2015 rapat paripurna di DPR RI memutuskan untuk memasukkan keduanya dalam prolegnas 2015. Kemudian pada 26 Januari 2016 DPR menyepakati Revisi UU KPK masuk dalam prioritas Prolegnas 2016.

"Dan mulai dibahas dalam rapat harmonisasi Baleg di DPR RI pada 1 Februari 2016," tutur dia.

PUKAT UGM kembali mengingatkan pada pernyataan Presiden Joko Widodo pada 2 Desember 2015 lalu. "Presiden berkata,'Soal Revisi UU KPK, inisiatif Revisi adalah dari DPR. Dulu juga saya sampaikan, tolong rakyat ditanya, semangat Revisi UU KPK itu untuk memperkuat, bukan untuk memperlemah'," kata Fariz menirukan Jokowi.

Atas pernyataan tersebut, muncul Petisi Online melalui situs change.org tentang penolakan Revisi UU KPK. Sebanyak 55.000 orang masyarakat, akademisi, aktivis menandatangani Petisi tersebut.

Tak hanya itu, revisi ini juga tidak dibarengi dengan naskah akademik yang diamanatkan Pasal 19 UU No 12 Tahun 2011. "Sehingga substansi revisi ini tidak bisa dipertanggungjawabkan," imbuh Fariz.

"Alasan di atas sudah seharusnya menjadi alasan kuat bagi Presiden untuk tidak menandatangani surat Presiden untuk pembahasan tahap pertama revisi UU KPK. Selain itu masyarakat pun mengingatkan agar presiden tidak ragu-ragu menghentikan revisi ini," pungkasnya.

(sip/dra)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads