Kecilnya gaji, besarnya biaya sekolah disebut menjadi celah adanya gratifikasi dalam bentuk sponsorship dari perusahaan farmasi pada dokter. Praktik ini bukan tidak mungkin terjadi. Hal ini karena dalam biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan farmasi, ada biaya promosi sebesar 30 persen yang didalamnya sudah termasuk pemberian sponsorship pada dokter.
"Polanya bisa dari perusahaan farmasi, mereka melabel obat mereka yang sudah habis masa patennya yang dikenal dengan generik bermerk. Mereka melakukan promosi dan menjanjikan servis tertentu. Karena itu kami mensinyalir praktek itu ada dan dimasukkan dalam anggaran promosi," kata Ketua Umum IDI Oetama Marsis di kantor PB IDI, Jl Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/2/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nantinya untuk pemberian sponsorhip kalau untuk PNS maka melalui rumah sakit, kalau swasta melalui organisasi profesi. Nanti pemberian itu akan ditembuskan ke bagian-bagian profesi. Kalau ada yang mencurigakan, maka untuk profesi IDI bisa (melapor) ke KPK). Untuk yang PNS akan dilaporkan ke Kemenkes lalu dibawa ke KPK," ujarnya.
"Besarnya bantuan yang diberikan tergantung kesepakatan," lanjutnya.
Hal ini terjadi karena adanya tuntutan dokter untuk terus mengembangkan ilmunya dan adanya kewajiban perusahaan farmasi dalam menopang peningkatan mutu pendidikan kesehatan di Indonesia.
Dalam MoU IDI dengan gabungan perusahaan farmasi Indonesia (GPFI) pada 2007, disepakati bahwa pemberian sponsorship hanya untuk kepentingan riset dan P2KB yang meliputi registrasi, akomodasi dan transport). Namun, meski dibolehkan menerima atau mencari sponsorship, dalam kode etik kedokteran, dokter diatur untuk bebas dari konflik kepentingan.
"Dan PB IDI mengharapkan KPK maupun pemerintah meyakini kode etik sebagai norma yang terus menjaga keluhuran profesi dokter dengan pengawasan serluruh instrumen etik," sambungnya.
Adanya kesepakatan dengan KPK terkait gratifikasi kini disikapi IDI dengan memperbarui MoU dengan PGFI. Dalam kerja sama itu akan diatur agar pemberian sponsorship akan diberikan pada rumah sakit/organisasi profesi. Untuk riset, maka akan diberikan pada instansi.
Begitupun saat seorang dokter membutuhkan biaya untuk keperluan pembelajarannya, maka permintaan sponsorship akan dilakukan via organisasi/instansi tanpa menyebut nama dokter bersangkutan. Selain itu, juga akan diatur besaran biaya yang boleh diberikan perusahaan farmasi berdasarkan kebutuhan dokter tersebut serta tingkatannya.
"Sehingga dengan ini kami harapkan bisa semakin menghindarkan dokter dari kemungkinan gratifikasi," pungkasnya.
(mnb/rvk)