"Jadi kami tegaskan tidak ada sponsorship atau beasiswa yang diberikan pada dokter untuk sekolah spesialis atau semacamnya," kata Ketua Umum IDI Oetama Marsis dalam jumpa pers di kantor PB IDI, Jl Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/2/2016).
Penjelasan ini diberikan Oetama menyusul beredarnya rumor dokter yang rentan gratifikasi melalui jalur pendidikan. Ia menjelaskan, selama ini pemberian sponsorship yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran (Kodeki) hanya menyangkut 3 hal saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dan secara tegas PB IDI menyampaikan bahwa pemberian sponsorship pada dokter dalam rangka pendidikan berkelanjutan dengan memenuhi batasan yang ditetapkan dalam Kodeki tidak termasuk dalam pelanggaran kode etik," sambungnya.
Ia mengatakan keikutsertaan dokter dalam simposium atau seminar selama ini kontribusinya hanya sedikit dari total 250 SKP yang harus dikumpulkan dokter dalam 5 tahun. Untuk pembelajaran seperti mengikuti seminar, simposium, membaca jurnal dan pengujian diri sendiri hanya sekitar 20 persen atau 10 SKP.
Meski begitu, selama ini dokter bisa mencari sponsorship dari perusahaan farmasi untuk keperluan simposium tersebut. Hal inilah yang akan diatur kemudian dalam MoU dengan perusahaan farmasi agar tidak lagi ada kontak fisik antara dokter dengan perusahaan farmasi.
"Selama ini memang dokter bisa mencari sponsor sendiri. Makanya nanti akan kita atur," terangnya.
Merujuk pada kesepakatan dengan KPK, pemberian sponsorship untuk dokter PNS akan dilakukan melalui rumah sakit sedangkan untuk dokter swasta melalui organisasi profesi.
Hal ini dilakukan untuk mencegah praktik gratifikasi yang tak dipungkiri Oetama bisa dilakukan beberapa oknum dokter.
"Polanya bisa dari perusahaan farmasi, mereka melabel obat mereka yang sudah habis masa patennya yang dikenal dengan generik bermerek. Mereka melakukan promosi dan menjanjikan servis tertentu. Karena itu kami mensinyalir praktek itu ada dan dimasukkan dalam anggaran promosi," pungkasnya. (mnb/hri)