Yudi Yaman (40) berangkat ke Sambas, Kalbar sejak November 2015. Bersama isteri dan keempat anaknya, Yudi meninggalkan kampung halamannya: Sukabumi.
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yudi pun pindah ke Sambas dengan modal pribadinya. Ia bertekad untuk hidup di Sambas dengan bertani dan berjualan barang kebutuhan sehari-hari.
"Di sana kita patungan untuk membeli tanah. Kami di sana murni bertani dan berdagang. Karena kami ingin mandiri, kami ingin memperbaiki kehidupan ekonomi," ujar Yudi.
Yudi menanam padi, timun, kacang juga tanam palawija dan ternak ayam. Di Desa Lumbang, ia mengontrak rumah seharga 8 juta rupiah untuk jangka waktu setahun.
Selama hidup di Sambas, Yudi mengaku sangat nyaman. Yudi sudah sejak muda tertarik menjadi petani. Dan ia juga berasal dari keluarga petani.
"Petani itu kan pekerjaan luar biasa. Dengan bekerja sana bersama warga lokal bergabung bersama gapoktan. Bertani juga memberikan kontribusi kepada negara," ucapnya.
Bekerja sama dengan warga lokal, Yudi juga sudah menjalankan pabrik tahu. Tapi usahanya itu harus ditinggalkan karena ia terpaksa disuruh meninggalkan Kalbar.
Selain upaya memperbaiki kehidupan ekonomi, ia menuturkan bahwa ada kepuasan lain yang didapatkan selama ia tinggal di Sambas.
"Saya mendapatkan ketenangan di sana. Kami nyaman, warga lokal pun baik dan terbuka kepada kami. Di sana masih alami. Selain udara yang bersih, di sana setiap musim duren kita makan duren. Begitu juga ambutan, cempedak," kata Yudi.
Semua usaha perekonomian itu dilakukan secara swadaya. Yudi menuturkan bahwa di Kalbar juga ada banyak tenaga ahli.
![]() |
Ada cerita berbeda dengan Yudi yang fokus pada dunia pertanian. Adalah Yunus salah seorang yang fokus pada dunia teknologi dan industri.
Yunus pergi ke Kalbar bersama istrinya. Ia meninggalkan Jagakarsa, Jakarta Selatan dan tinggal di Singkawang.
"Saya pergi ke Singkawang tanggal 25 Desember 2015. Saya diajak teman untuk tinggal di sana," ujar Yunus yang hari ini sedang mengurus kepulangannya ke Cimahi.
Motivasi Yunus untuk pergi ke Singkawang karena menurutnya ongkos hidup yang lebih rendah dibanding di Jakarta.
"Biaya hidup di sana juga tidak mahal. Air satu galon seharga 5 ribu. Sedangkan di sini berapa?" tutur Yunus.
Selama tinggal di Singkawang, Yunus membuka bengkel las. Hal ini tidak berbeda dengan kehidupannya ketika masih di Jagakarsa.
"Sebelumnya di Jakarta buka bengkel, sempat juga sebagai pengusaha. Sempat juga buka usaha restoran," katanya.
"Saya buka bengkel las di sana. Gaji di sana lumayan, sehari pekerja bengkel mendapatkan upah 100 ribu. Sebulan jadi 3 juta," tambah Yunus.
Penghasilan tersebut menurutnya cukup karena ongkos hidup yang tidak terlalu tinggi. Hal lain yang dicarinya ketika pindah ke Singkawang adalah keinginan merubah gaya hidup.
"Motivasi lainnya, gaya hidup modern diganti ke gaya hidup alamiah. Selain itu juga eksplorasi dalam artian kita ingin menjelajah. Jadi tidak seperti katakan dalam tempurung. Pengayaan pengalaman," jelas Yunus. (fjp/fjp)