Hal tersebut disampaikan anggota DPRD Komisi E Fahmi Zulfikar saat bersaksi untuk terdakwa Alex Usman dalam kasus dugaan korupsi pengadaan UPS. Hanya saja, menurut Fahmi, tak ada poin soal UPS yang diminta dievaluasi.
"Pada 13 Agustus 2014, draf RAPBD yang telah diparipurnakan itu ditandatangani ketua komisi dan pimpinan dewan kemudian diserahkan kepada gubernur. Oleh gubernur disampaikan kepada Depdagri untuk mendapat persetujuan," kata Fahmi di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Raya, Jakarta Pusat, Kamis (28/1/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Ketua Komisi E Firmansyah mengatakan, awalnya UPS diajukan untuk mata anggaran APBD 2014. Hanya saja karena sudah lewat, maka dimasukkan ke dalam RAPBD-P 2014. Saat itu ada sekitar 25 unit yang dimintakan.
"Nilai pagu anggarannya berapa?" tanya jaksa penuntut umum.
"Rp 6 miliar," jawab Firmansyah.
"Masing-masing?" tanya jaksa lagi.
"Iya," jawabnya.
Firmansyah menjelaskan, ia tak punya kewenangan untuk meloloskan permintaan UPS dari Alex Usman. Alex adalah Kasi Prasarana dan Sarana pada Suku Dinas Pendidikan Menengah Kota Administrasi Jakarta Barat yang kini berstatus terdakwa. Apalagi, saat itu waktu pengajuan sangat mepet dengan deadline pengumpulan draf RAPBD ke Kemendagri.
"Pertama saya tidak punya kewenangan. Kedua saya juga tidak bisa karena itu waktunya mepet. Karena total yang berubah di RAPBD-P nilainya sampai Rp 1,9 triliun," jelas Firmansyah.
"Saya menunggu dari rekan-rekan, mana yang diganti mana yang dikeluarkan. Bentuknya RAPBD itu berjalan melalui rapat banggar, rapat pimpinan gabungan, di mana pimpinan fraksi mengumumkan di fraksi masing-masing untuk diminta komentar atau pendapat," paparnya. (rna/imk)