"Peran negara jangan memperburuk situasi sehingga isu Gafatar ingin bentuk negara baru itu dikutip, yang mengarah menyudutkan bahwa kelompok ini berbahaya," kata Direktur Eksekutif Human Rights Working Group Rafendi Djamin dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (25/1/2016).
Dia menilai pemerintah harus menunjukan di mana letak kesalahan atau penyimpangan sehingga menimbulkan unsur pidana yang dilakukan eks Gafatar. Para pengungsi Gafatar sebelumnya mengaku kalau kepindahannya ke Kalbar untuk bercocok tanam dengan menjual habis harta benda yang ada di daerah asal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rafendi menilai kelompok Gafatar harus dibuktikan apakah ada pelanggaran pidana yang dilakukan selama di Mempawah itu. Isu yang beredar bahwa Gafatar ingin membentuk negara baru juga harus dibuktikan pemerintah.
"Kalau masih terbatas isu harusnya bukan tugas pemerintah untuk menyebarkan ke media. Apa buktinya? Ada kegiatan bersenjata? Mau makar? yang bukti-bukti awal yang memilki jalur komando, yang merencanakan berbagai macam teknik penyerangan, abuse, lah itu haruslah urusannya hukum aturannya adalah hukum internasional terkait dengan internal konflik bersenjata. Ini tidak bersenjata damai dan sejahtera," katanya lagi.
"Kelompok orang Indonesia yang mencari jalan keluar untuk kehidupannya, berdagang bertani, sekarang disudutkan secara sosial dan politik oleh masyarakat dan pemerintah," imbuh Rafendi.
Sementara itu Wakil Direktur Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengkritik apa yang terjadi, kini masyarakat menuding Gafatar sesat. Menurutnya pola pikirnya seperti itu tidak jauh dengan pola pikir ISIS, pola berpikir yang melabelkan mereka yang berbeda adalah sesat, mereka yang 'berbeda' adalah kafir.
"Kalau kayak gini kan seperti pemadam kebakaran. Liat saja pendekatannya, mereka bilamg ditampung di pengungsian, dibentuk tim melibatkan dinsos, MUI, pemulangan tapi juga nanti pendidikan agama supaya mereka kembali ke jalan yang "benar"," kata Bonar di tempat yang sama.
Menurutnya kalau begitu, negara menunjukan lebih mementingkan keamanan dan stabilitas. "Yang paling mudah adalah mengorbankan si minoritas. Kedua, negara tunduk kepada mereka yang mengklaim dirinya minoritas. Dalam perspektif HAM, negara harus berdiri di tengah-tengah semua agama dan keyakinan," ungkap Bonar.
(dra/dra)