"Saya sama anak dan istri ikut pergi ke Kalimantan," kata Anton, Sabtu (23/1/2016).
Ia menceritakan, dirinya ikut bergabung dengan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) sejak 2012. Katanya, Gafatar adalah organisasi masyarakat yang bergerak di bidang sosial seperti donor darah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gafatar sudah berusaha untuk mendaftar sebagai ormas di Kementerian Dalam Negeri. Namun sampai 2015 tidak mendapatkan surat keterangan terdaftar (SKT), sehingga ormas ini dibubarkan.
"Setiap kegiatan sosial, saya tidak mesti selalu hadir. Kalau tidak berbenturan dengan pekerjaan, saya hadir. Kalau waktunya berbarengan saya tidak hadir," kata bapak satu anak yang sebelumnya bekerja sebagai kuli bangunan ini.
Anton menjelaskan, selama mengikuti ormas Gafatar, tidak dipungut biaya. Namun, untuk operasional kegiatan bakti sosial, anggota dapat memberikan bantuan seikhlasnya.
"Saya nggak mesti memberikan bantuan setiap bulan. Kalau pas ada rezeki, kadang saya memberikan bantuan," tuturnya sambil menambahkan, setiap memberikan donasi mendapatkan kwitansi dari pengurus Gafatar.
Setelah ormas Gafatar dibubarkan, tidak ada lagi kegiatan sosial. Namun, hubungan dengan rekan-rekannya sesama Gafatar masih terjalin baik.
Anton mulai tertarik menjadi kelompok tani di Mempawa Kalimantan Barat, setelah mendapatkan tawaran dari rekannya bernama Deny asal Sidoarjo. Waktu itu, Anton ditawari dapat memiliki rumah dan lahan pertanian seluas 1 hektar di Kalimantan Barat, dengan dana sebesar Rp 15 juta.
"Siapa yang nggak ingin memiliki rumah dan memiliki pekerjaan. Dengan Rp 15 juta dapat lahan satu hektar dan rumah," tuturnya.
Tawaran itu diterimanya. Namun, harta benda yang dimiliki hanya sepeda motor dan terjual laku Rp 10 juta. Meski hanya menyerahkan Rp 10 juta, tetap diterima Deny.
Kemudian pada Agustus 2015, Anton mengajak istri dan anaknya berusia 1 tahun berlayar ke Kalimantan Barat. Ketika sudah bersandar di pelabuhan di Kalbar, dia menghubungi Deny.
Tak lama kemudian, datang seorang rekan dari Deny menjemputnya di pelabuhan. Dengan mengendari mobil, keluarga Anton langsung menuju ke Mempawa Kalbar yang perjalanannya menempuh waktu sekitar 3-4 jam.
"Sampai di sana, saya langsung ditunjukkan temannya Pak Deny, ini rumah yang akan saya tempati dan lahan pertanian yang akan saya garap," kata pria asal Banyuwangi itu.
Meski dengan Rp 10 juta dapat lahan sekitar 0,5 hektar dan rumah petak, dirinya mengaku bersyukur dan merasa nyaman. Apalagi hidup yang awalnya tidak kenal, menjadi akrab seperti saudara sendiri.
"Saya menanam kacang panjang. Saya bersyukur semua kebutuhan hidup dapat terpenuhi dan rasanya nyaman. Mau ambil tomat, lombok tinggal memetik dan tidak perlu membeli," tuturnya.
Keakraban terjalin sesama penghuni. Bahkan, kehidupan mereka terjadwal seperti waktu makan sebanyak tiga kali dalam sehari, dengan secara bersama-sama satu blok.
"Ada dapur umum. Kalau makan berbarengan di ruang dapur secara bersama-sama dengan keluarga lainnya," terangnya sambil menambahkan, setiap blok terdapat 10 KK (kepala keluarga).
Ia menegaskan, penghuni tersebut bukan kelompok Gafatar. Tapi sebagai kelompok tani Manunggal Sejati. "Bukan. Tidak ada kaitannya dengan Gafatar. Ormas Gafatar sudah dibubarkan dan kami adalah kelompok tani. Penghuninya juga bukan hanya eks anggota Gafatar tapi juga ada dari luar Gafatar," ujarnya.
"Dan kami tidak memandang agama, golongan, ras, suku apapun. Kami hanya mengabdi kepada Tuhan, mengamalkan Pancasila. Masak seperti ini kok dimusuh, dikatakan aliran sesat," terangnya.
Ia menegaskan, selama di Mempawa, Kalbar, tidak ada kegiatan 'doktrin' soal aqidah. Katanya, warga hanya berkumpul di ruang aula di kompleks tersebut hanya membahas tentang pertanian.
"Masalah agama itu urusan personal masing-masing. Dan kami tidak memandang apa agamanya. Semuanya sama hanya menjaga kelestarian alam dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang rahman yang rahim," paparnya.
Hubungan penghuni kelompok tani dengan masyarakat dari suku Dayak cukup baik. Bahkan, Anton diminta warga Dayak untuk menggarap lahan sawah yang terbentang luas.
"Orangnya sangat baik. Luasnya berapa ndak tahu dan saya diminta untuk mengukur sendiri. Dia meminta saya untuk menggarap lahan sawah, dan dipersilahkan membangun rumah dari kayu yang juga sudah tersedia kayu dari pepohonan," katanya.
Aksi Bakar Membuat Harapan Hidupnya Sirna
Dengan tawaran menggarap lahan sawah yang terbentang luas, membuat harapan baru bagi keluarga Anton. Namun, harapan tersebut sirna setelah aksi kerusuhan di 'perkampungan' kelompok petani Manunggal Sejati.
Tempat tinggalnya dibakar oleh orang-orang. Massa membakar rumah penduduk dengan dalih sebagai gerakan terorisme dan dalang dibalik bom Thamrin, Jakarta.
"Kenapa bom di Jakarta kok dikait-kaitkan dengan kita. Dan isu keterlibatan eks Gafatar pada kasus bom itu terlalu dilebihkan," katanya.
"Kami ini bukan gerakan radikalisme, bukan teroris. Tapi kenapa kami harus diusir," ujarnya.
Dia juga menyayangkan kabar orang-orang karena diculik dan bergabung dengan Gafatar. "Ada orang pergi dari rumah, katanya diculik. Padahal mereka sudah dewasa dan pergi atas inisiatif sendiri. Masak itu dikatakan menculik," terangnya.
"Kondisi tersebut yang memprovokasi massa untuk berbuat anarkis, membakar rumah tempat tinggal kami. Kok sampai segitunya, sampai rumah kita dibakar. Apa salah kami. Dan kenapa ISIS kok tidak diusir dari sini," imbuhnya. (roi/Hbb)