"Kita mendesak agar dibayar dong," ungkap Jaksa Prasetyo di Gedung DPR, Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (20/1/2016) malam.
Dalam putusan Mahkamah Agung (MA), Yayasan Supersemar diminta mengembalikan uang sebesar Rp 4,4 triliun yang dinilai telah diselewengkan. Dari putusan MA, kebocoran dana yayasan yang seharusnya digunakan untuk beasiswa mengalir ke sejumlah bank dan juga perusahaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu urusan pengadilan seperti apa nanti. Kita hanya memverifikasi, kita menelusuri aset mereka. Tapi pengadilan dong. Ini kan perdata. Perdata itu kewenangan pengadilan, termasuk eksekusinya," ujar Prasetyo.
"(Teknis) tergantung pengadilan nanti. Pengadilan bisa melakukan upaya paksa. Mereka punya juru sita. Itu nanti pengadilan yang akan mengambil sikap," lanjut mantan politisi NasDem itu.
PN Jakarta Selatan yang memimpin jalannya aanmaning memutuskan memberi waktu 8 hari kepada Yayasan Supersamar untuk melaksanakan putusan MA secara sukarela. Jika tidak, maka jaksa diizinkan merampas paksa aset Supersemar.
"Ya makanya pengadilan yang bersikap. Justru nanti kita lihat, asetnya di mana saja, kita akan menelusuri," ucapnya. Prasetyo.
Pihak Yayasan Supersemar sendiri meminta penagguhan pembayaran Rp 4,4 T tersebut. Alasannya karena saat ini mereka tengah mengajukan gugatan perdata baru PN Jaksel perihal dana yang menurut Yayasan Supersemar jumlah aslinya hanya Rp 309 miliar.
Adapun kebocoran dana beasiswa pendidikan dialirkan Yayasan Supersemar ke Bank Duta (kini menjadi Bank Danamon), Sempati Air, PT Kiani Lestari, PT Kalhold Utama, Essam Timber, PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri, dan Kosgoro. Data ini berdasarkan putusan MA.
Lantas bagaimana jika Yayasan Supersemar mengaku tidak memiliki aset sebesar seperti yang diwajibkan dibayarnya itu?
"Dana tidak cukup tahunya dari mana? Jangan nganu dong, saya sendiri belum kasih tahu. Janganlah mengada-ada. Kita akan telusuri asetnya," jawab Prasetyo mengakhiri. (elz/imk)











































