Namun ada yang terlupakan oleh para penggagas revisi UU Terorisme tersebut. Pengamat kejahatan terorisme sekaligus pendiri Institute for International Peace Building di Jakarta, Noor Huda Ismail mengatakan bahwa melawan terorisme tidak cukup dengan hanya mengandalkan pendekatan keamanan.
Pemerintah, kata Noor Huda, perlu menyusun dua kebijakan untuk melawan terorisme. Pertama adalah mendorong mantan terpidana teroris untuk kembali diterima ke masyarakat dan kedua, menggandeng masyarakat sipil untuk melakukan "counter narrative" terhadap penyebaran ide-ide kekerasan yang dikampanyekan oleh pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di dunia maya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah sudah berupaya melakukan pendekatan kepada para mantan napi teroris itu melalui program deradikalisasi. Sayang, program ini masih terbentur keterbatasan dana, infrastruktur dan sumber dara manusia. "Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mengatur penempatan, pengawasan, pengembangan dan melakukan program rehabilitasi untuk para mantan teroris," kata Noor Huda.
Hal yang tak bisa dilupakan lagi adalah soal gencarnya pendukung ISIS melakukan propaganda dan kampanye melalui dunia maya, seperti Twitter, Facebook, YouTube atau blog. Sehingga, kata Noor Huda, pemerintah perlu membuat strategi dan upaya sistematis untuk membendung gerakan terorisme di dunia maya. Ini bisa dilakukan dengan menggandeng masyarakat yang aktif di dunia maya alias Netizen.
"Jika IS (Islamic State/ISIS) telah berhasil mengunakan jejaring sosial untuk menyebarkan pesan mereka di Facebook, Twitter dan YouTube, kitapun masyarakat madani juga perlu membuat kampanye serupa di media sosial untuk melawan gerakan mereka. Kita bisa 'belajar' bagaimana 'kreatifnya' kelompok ini menggunakan teknologi untuk menyebarkan ideologi mereka dengan melihat produksi video, membaca Twitter dan semua yang mereka posting di dunia maya," kata Noor Huda. (erd/asp)











































