Menurut Nanda, sapaan Prananda, BIN sebagai dinas rahasia, dalam negara demokrasi cenderung tidak melakukan penangkapan secara langsung. Batasan ini perlu guna meminimalisir potensi abuse of power oleh negara kepada warganya.
BIN bisa meminta kepolisian mengamankan dan menangkap seseorang jika memiliki informasi memadai. Selanjutnya kedua institusi tersebut bisa melakukan joint session interogation (interogasi bersama).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Β
Baca juga: Ini Kutipan UU Terorisme yang Rencananya Akan Direvisi
Dengan begitu, dia menilai belum ada kebutuhan mendesak untuk merevisi UU Anti Terorisme dengan mengakomodir wewenang penangkapan dan penahanan oleh BIN. Justru menurutnya, saat ini yang dibutuhkan adalah penambahan anggaran BIN.
"Yang lebih urgen menurut saya adalah penambahan anggaran guna mengembangkan program BIN, bukan revisi agar BIN bisa menangkap orang," ujar politisi asal dapil Sumut itu.
"Jika persoalan wewenang menangkap dan menahan yang dipersoalkan, hal itu bisa dikoordinasikan dengan Kapolri, tidak harus dimasukkan dalam Undang-undang," tegasnya.
Selama ini kata Prananda, kewenangan menangkap pelaku kejahatan ekstrim yang dipegang Polri sudah benar dan tepat. Lagi pula, selain harus menjelaskan semua operasinya secara tertutup ke Komisi I DPR, BIN juga harus tetap menjalankan akuntabilitas operasionalnya kepada publik.
Karena jika penangkapan dan penahanan tidak terpublikasi maka kewenangan tersebut sangat berpotensi mendorong kekuasan otoriterianisme. "Untuk mencegah potensi tersebut , revisi UU Intelijen belum diperlukan," lanjutnya.
"Tidak penting lagi perdebatan apakah BIN kecolongan atau tidak, yang penting BIN bisa berfungsi optimal dengan program dan anggaran yang sudah mereka ajukan," tegasnya. (bal/tor)











































