Lebih Dekat dengan Suku Sakai yang Terpinggirkan di Bumi Riau nan Kaya

Lebih Dekat dengan Suku Sakai yang Terpinggirkan di Bumi Riau nan Kaya

Chaidir Anwar Tanjung - detikNews
Selasa, 19 Jan 2016 09:35 WIB
Foto: chaidir/Yatim Tokoh di Sakai
Pekanbaru - Suku Sakai, komunitas suku di pedalaman hidup di hamparan luasnya ladang minyak di Riau. Di celah angkuhnya bentangan pipa minyak terbentang pula kemiskinan di sana.

Dari Pekanbaru menuju. Kota Duri di Kabupaten Bengkalis, akan terbentang hamparan ladang minyak. Pipa raksa menjulur memanjang meliuk-meliuk mengikuti jalan lintasΒ  menghubungkan sampai ke Dumai, sekitar 200 km dari Pekanbaru.

Kanan kiri jalan, pipa minyak warna gelap seakan mengepung jalan negara. Mesin penyedot perut bumi yang dikenal dengan istilan mesin angguk memompa minyak seakan tak kenal lelah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari kota Duri yang berjarak 150 km dari Pekanbaru, di sana ada perkampungan Sakai komunitas penduduk yang dianggap 'terbelakang' di banding penduduk asli Melayu lainnya. Apa lagi jika dibandingkan komunitas pendatang dan perusahaan raksasa, Sakai terasa terpinggirkan.

Adalah Desa Kesumbo Ampai, Kecamatan Mandau, berjarak sekitar 300 meter menjorok ke dalam dari lintas timur Sumatera. Di sanalah ada 300 KK suku Sakai hidup terjepit perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.

Jalan aspal yang mulai terkelupas, satu-satunya akses untuk mencapai desa itu. Di desa itu hidup adem ayem Sakai yang selama ini dijuluki suku terasing. Tapi agaknya kalimat 'asig' sudah tak cocok buat mereka. Karena puluhan tahun mereka sudah berbaur dengan masyarakat kebanyak.
Robin Ketua RT di Sakai

Di desa itu, Sakai yang bergantung hidup dari perkebunan sawit dan karet. Rumah mereka umumnya terbuat dari papan. Ada sebagian semi permanen. Ada juga dua rumah permanen bantuan pemerintah untuk suku asli di Riau itu.

Tidak ada lagi warga yang mengenakan pakaian dari kulit kayu yang mungkin hal itu masih menjadi pemandangan hal yang lumrah sekitar 30 tahun silam.Β  Kini, penampilan mereka tak ada bedanya dengan masyarakat pada umumnya.

Tapi wajah-wajah kemiskinan terpancar dari mereka. Hidup sederhana, tanpa terlihat kemewahan. Rasanya tidak sebanding dengan keangkuhan perusahaan raksasa minyak yang sudah menyedot hasil bumi mereka jauh sebelum kemerdekaan.

Kini, Sakai tak hanya diapit perusahaan minyak berkelas internasional. Namun mereka juga terkepung keangkuhan perusahaan perkebunan sawit dan hutan industri, yang tak pernah menyentuh ekonomi Sakai.

Sakai, tetap saja hidup dalam keterpurukan. Umumnya, para orang tua yang ada di sana masih terbatas soal pendidikannya. Rata-rata tingkat pendidikan mereka paling banter setingkat SMP. Walau begitu, kini anak-anak Sakai mulai melek soal pendidikan. Mereka seakan tidak ingin hidup dibelenggu kemiskinan dan kebodohan.

Kini, kampung Sakai bathin 8, sudah ada sarana pendikan SD, SMP dan SMK yang tak jauh dari mereka. Sakai di Riau ada 13Β  bathin (kelompok) yang menyebar di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak. Nasib mereka dari bathin yang ada saling tak jauh beda.

pun Selama ini, suku Sakai yang ada di Mandau, sangat terbatasΒ  soal pendidikan. Sehingga mereka jarang sekali diterima di perusahaan yang ada di sekitar mereka.

"Bagaimana mau diterima kerja, kita tak punya tamatan sekolah. Kalau perusahaankanΒ  mau terima kerja harus punya tamatan sekolah. Kita bergantung hidup dari bertani saja," kata Robin Rawana (43) Ketua RT 02 di desa tersebut yang tak tamat SD dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (19/01/2016).

Kini, Sakai tak lagi punya hutan belantara. Padahal, dulunya mereka hidup bergantung dengan alam. Hutan sudah ludes untuk perkebunan sawit perusahaan. Ilmu alam mereka soal tanda-tanda alam tak bisa lagi mereka gunakan. Padahal dulunya, mereka berburu cukup mengenali jenis pohon dan rerumputan sudah bisa menentukan jenis satwaΒ  apa yang ada di sana.

Kini semua ilmu alam yang dulunya turun temurun itu sudah sirna, seiiring punahnya hutan. Di desa itu, masih adaΒ  terisa 300 hektare hutan alam yang berada di kampung itu. Hutan itu tumbuh alami dan dijaga mereka.

Hutan alam dengan pepohonan raksasa yang tersisa kini baru dijada setelah sebagian besarnya 'hilang' dijarah para penguasa dan pengusaha. Hutan alam itu, masih terlihat asri dan apik.

"Cuma ini yang tersisa buat kami. Kalau masih ada orang lain nekat mengambil kayunya, kami siap bertaruh nyawa," kata Muhamad Yatim (60) tokoh adat sekaligus ketua Bhatin yang ada di komunitasnya.

Suku Sakai di desa itu, tidak lagi memeluk animisme. Sekitar 4 generasi di sana sudah memeluk Islam. M Yatim di kampungnya juga dijuluki 'Khalifah' atau tokoh agama. Ini karena Yatim menimba ilmu keagamaan di Pondok Pesantren Basilam, di Sumatera Utara.

"Kami memeluk Islam sejak zaman kakek kami. Jadi seperti saya ini Islamnya sudah keturunan," kata Yatim. (cha/dra)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads