Pengacara: Penunjukkan Langsung Pengadaan 3 QCC adalah Commercial Decision

Pengacara: Penunjukkan Langsung Pengadaan 3 QCC adalah Commercial Decision

Rini Friastuti - detikNews
Senin, 18 Jan 2016 15:41 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kubu RJ Lino menjelaskan bahwa penunjukkan langsung untuk pengadaan 3 unit Quay Container Crane (QCC) tahun 2010 tersebut sangat dibutuhkan dan tak dapat ditunda.

"Pengadaan terhadap 3 unit QCC faktanya sangat dibutuhkan dan tidak dapat ditunda keberadaannya oleh PT Pelindo II. Oleh karena itu, pengadaan QCC twin lift dapat dilakukan dengan penunjukan langsung kepada HDHM," ujar salah satu kuasa hukum RJ Lino dalam persidangan, Senin (18/1/2016).

Dia juga menjelaskan, bahwa keputusan RJ Lino untuk memilih penawaran yang diberikan oleh perusahaan China bernama HDHM tersebut merupakan sebuah commercial decision atau keputusan komersil.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Keputusan ini diambil tidak berdasarkan keputusan sendiri tapi berdasarkan rekomendasi internal para direktur Pelindo II lainnya, untuk kepentingan bisnis Pelindo II. Jadi bukanlah pengadaan yang dilakukan dengan cara melawan hukum atau dengan cara menyalahgunakan kewenangan," jelasnya.

Dia kembali menjelaskan, commercial decision ini juga tak merugikan keuangan negara karena berdasarkan laporan hasil audit investigatif BPKP atas dugaan penyimpangan pengadaan 3 QCC ini, tidak ada keterangan adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

"Lalu hasil Pemeriksaan BPK No. 10/ AUDITAMA VII/PDTT/02/2015 tanggal 5 Februari 2015, juga menyatakan tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa hasil pemeriksaan adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara berkaitan dengan pengadaan 3 unit QCC di lingkungan PT Pelindo II tahun 2010," imbuhnya.

"Namun BPK RI merekomendasikan Direksi PT Pelindo II agar memberikan sanksi sesuai ketentuan intern kepada Kepala Cabang Pelabuhan Pontianak yang tidak melaksanakan pembangunan Powerhouse beriringan dengan pengadaan QCC dan penyelesaiannya yang terlambat dan memerintahkan Kepala Cabang Pontianak dan Kepala Cabang Palembang untuk mengoptimalkan penggunaan QCC dan segera menyelesaikan pembangunan powerhouse," kata dia.

Commercial Decision ini, menurutnya telah menghemat biaya sebesar Rp 1,8 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan yang diambil merupakan salah satu jalan yang dianggap tepat pada saat itu.

"Sejak penggunaan twin lift QCC pada tahun 2014, tingkat Berth Occupancy Ratio (BOR) atau tingkat penggunaan dermaga di pelabuhan Pontianak turun menjadi 43.2% sehingga biaya per-kargo turun sebanyak Rp 4 juta menjadi Rp 2,5 juta, sehingga berdasarkan tingkat penggunaan pelabuhan Pontianak pada tahun 2014 sebesar Rp 219.700 dan pada tahun 2015 sebesar Rp 227.130, maka negara menghemat biaya sebesar kira- kira Rp 1,8 Miliar," ujarnya menjelaskan.

RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan 3 QCC pada tahun 2010. Lino dianggap menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi.

QCC adalah derek yang dipasang di bibir pelabuhan untuk bongkar-muat kontainer dari kapal. Sedangkan jenis twin lift maksudnya adalah derek yang bisa mengangkat dua kontainer sekaligus.

Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan kegiatan investasi dan biaya pada Pelindo sejak 2010 sampai 2014 menyebutkan banyak kejanggalan atas pengadaan QCC twin lift itu. Mulai proses pengadaan hingga ketidaksesuaian derek itu dengan jenis pelabuhan tujuan.

Pengadaan QCC dimulai pada 2007, yakni saat Pelabuhan Palembang mengajukan permintaan container crane bekas. Namun pengadaan melalui lelang itu gagal. Kegagalan terulang setahun berikutnya ketika Pelabuhan Panjang meminta alat yang sama untuk membantu aktivitas pelabuhan tersebut.

Kegagalan beruntun itu direspons Direktur Operasi dan Teknik Ferialdy Noerlan dengan mengembangkan permintaan alat menjadi QCC single lift baru untuk tiga pelabuhan, ditambah Pontianak. Estimasi anggarannya, untuk Pelabuhan Panjang US$ 5,7 juta dan Rp 88 juta dengan kontrak perawatan selama 6 tahun sebesar Rp 9,79 miliar.

Lalu, Pelabuhan Palembang dan Pontianak masing-masing sebesar US$ 4,338 juta dan Rp 88 juta dengan kontrak perawatan selama 6 tahun sebesar Rp 6,711 miliar. Sehingga total anggaran pembelian QCC untuk tiga pelabuhan itu sebesar US$ 14,376 juta dan Rp 264 juta.

Namun proses pengadaan juga menemui jalan berliku. Lelang pertama gagal. Pelindo sempat menunjuk langsung PT Barata. Namun proses ini lagi-lagi tidak terwujud karena tidak terjadi kesepakatan dalam estimasi harga dengan penawaran. Lalu Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino pun tampil.

Lino mendisposisi penunjukan langsung dilakukan terhadap tiga perusahaan, yakni Zhenhua Heavy Industry Co Ltd (ZPMC), Wuxi Hua Dong Heavy Machinery (HDHM), dan Doosan Heavy Industries and Construction Co Ltd.

Tawaran HDHM dinilai paling menarik karena, selain mengajukan QCC single lift, menawarkan twin lift dengan daya angkat 50 ton. Tawaran QCC twin lift inilah yang menjadi bahan negosiasi berikutnya. Pelindo minta perusahaan asal Tiongkok itu meningkatkan daya angkat menjadi 60 ton dan disanggupi oleh HDHM.

Namun BPK menyatakan Pelabuhan Pontianak dan Palembang sebetulnya tak memerlukan derek dengan daya angkat terlalu besar, karena keduanya merupakan pelabuhan sungai. Apalagi sungai hanya dapat dilintasi kapal berukuran sedang, karena kedalaman alur di Pelabuhan Palembang hanya -3,2 mean low water spring (pasang tertinggi 3 meter) dan di Pelabuhan Pontianak -3,8 mean low water spring (pasang tertinggi 1,8 meter Kapal yang berlabuh di kedua pelabuhan itu bertipe flat bottom (dasar kapal datar). Kondisi operasional lapangan pun belum tertata rapi sehingga tak memungkinkan pengoptimalan derek dengan jenis twin lift. Apalagi listrik yang tersedia di kedua pelabuhan belum mumpuni untuk menghidupkan QCC twin lift.

Kejanggalan lainnya adalah nilai teknis mesin yang masih menggunakan standar Tiongkok (Guobiao/GB). Sedangkan nilai teknis yang diinginkan adalah standar Eropa (Federation Europeenne De La Manutention/FEM).

Beberapa peraturan di Pelindo juga sengaja diubah, seperti soal pengadaan dengan alasan agar tidak kaku dan penggunaan standar alat dari Eropa ke Tiongkok.

Sebagai bukti penunjukan langsung itu, penyelidik menemukan nota tulisan tangan Lino yang mengarahkan agar pengadaan langsung dilakukan oleh HDHM. Nota tersebut tertanggal 12 Maret 2010 dan 25 Maret 2010. Nota terakhir berisi perintah agar Pelindo menyesuaikan pengadaan dengan penawaran HDHM.

Anehnya, pihak Pelindo tidak pernah mengajukan data spesifikasi yang diinginkan selama berkomunikasi dengan HDHM. Spesifikasi alat yang dibutuhkan hanya melongok pada lembar penawaran dan spesifikasi yang diajukan HDHM.

Kondisi alat pun serbakurang. Spreader, alat untuk memperlebar pengangkut sehingga mampu menampung dua peti kemas, buatan HDHM ternyata menggunakan produksi ZPMC. Bahan kerangka bangunan masih menggunakan standar untuk single lift, sehingga baja yang digunakan kualitasnya lebih rendah.

Di samping itu, spreader di Pelabuhan Panjang pernah rusak total sehingga harus diganti dengan biaya dari Pelindo sendiri. Ketika proses pengadaan berlangsung, HDHM terdata belum memiliki sertifikasi QCC untuk bobot maksimal lebih dari 40 ton. Pengadaan di Pelindo untuk tiga unit QCC twin lift ini merupakan ekspor pertama mereka keluar dari Tiongkok.

Commissioning test yang digelar ketika alat itu didatangkan hanya mengangkat kontainer kosong. Alhasil, ketika penyelidik KPK melakukan pengujian, Pelindo tak berani mengangkat beban lebih dari 40 ton. Bahkan beban 40 ton ini hanya diangkat dengan kecepatan yang tak sesuai dengan spesifikasi alat.

"Ketika kami periksa, Lino mengakui semua soal mengarahkan pengadaan hingga soal tetek bengek teknis pengadaan dan kondisi alat. Tapi tetap saja ia berkelit bahwa itu untuk mempercepat kegiatan operasional pelabuhan," ujar seorang sumber di KPK.

Lino memiliki rekam jejak karier di Tiongkok. Ia pernah bekerja sebagai Project Director AKR Nanning, Tiongkok, pada 2005. Kariernya moncer setelah berhasil menjalin kerja sama dengan pemerintah lokal untuk mengakuisisi sebuah pelabuhan dan menyelesaikan persetujuan jual-beli.

Saat itu ia duduk sebagai Managing Director Pelabuhan Guigang, Guangxi, Tiongkok. Prestasi itulah yang membuatnya pada 2009 diusulkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil untuk menduduki kursi Direktur Utama Pelindo II.

KPK akhirnya baru bisa menjerat Lino sebagai tersangka pada 18 Desember 2015. Lino dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP. KPK mengendus adanya kerugian negara sekitar Rp 60 miliar. (rni/Hbb)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads