"Revisi Undang-Undang Teroris sebaiknya dengan Perppu. Keinginan untuk merevisi UU Terorisme sebenarnya sudah lama dimintakan BNPT, namun DPR tidak pernah serius meresponsnya," kata anggota Badan Legislasi DPR Martin Hutabarat kepada wartawan, Senin (18/1/2016).
Dalam Program legislasi nasional (Prolegnas) 2015, revisi UU Terorisme tidak masuk menjadi prioritas. Pasca aksi teror di Jl MH Thamrin, Martin mendukung revisi UU Terorisme dimasukkan ke Prolegnas prioritas 2016.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski mengusulkan UU Terorisme dimasukkan ke Prolegnas 2016, namun Martin lebih cenderung mendukung Presiden menerbitkan Perppu. Martin berkaca pada rendahnya kinerja DPR pada tahun 2015 lalu, yang hanya menyelesaikan 3 UU dari target 40 UU.
"Apabila Perppu dikeluarkan, akan membuat DPR harus membahasnya, karena konstitusi sudah membatasi waktu untuk bisa diterima atau ditolaknya Perppu tersebut sampai persidangan DPR berikut," ulas anggota Komisi I DPR ini.
Martin yakin rakyat akan mendukung Presiden menerbitkan Perppu untuk terorisme. Presiden tak perlu ragu, asal isi Perppu itu benar-benar dibahas bersama Polri, TNI, BIN, Kemenkum HAM, BNPT, dan semua lembaga terkait.
"Sebab UU Terorisme yang ada sekarang ini juga adalah UU yang disahkan dari Perppu Nomor 1 tahun 2002 yang dibuat Presiden Megawati sebagai respons terhadap bom bunuh diri pertama di Bali tahun 2002 yang lalu," pungkasnya.
Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan berencana mendorong DPR agar melakukan revisi Undang-undang Pemberantasan Terorisme. Tujuannya agar ada upaya preventif untuk mengungkap kasus terorisme.
"Kami sedang meminta kepada DPR untuk merevisi UU Pemberantasan Terorisme sehingga bisa ada upaya preventif. Jadi kalau sudah patut diduga, kami bisa menahan karena selama ini tidak ada," ujar Luhutm Jumat (15/1) lalu.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan dukungan revisi UU Terorisme. Revisi dimaksudkan agar regulasi yang mengatur upaya preventif dan penindakan aksi teror bisa maksimal.
"Kita bisa melakukan deteksi (jaringan terorisme), tapi kita tidak bisa melakukan penindakan sebelum ada tindak pidana yang dilakukan," ujar Badrodin di Mabes Polri, Sabtu (16/1).
"Itu kelemahan daripada regulasi kita. Jadi kalau misalnya ada orang pulang dari Suriah yang jelas-jelas tergabung dengan ISIS, kita tidak bisa membuktikan pidananya," lanjutnya. (tor/asp)











































