Sepasang suami istri itu menikah pada 18 Desember 2009 di KUA Denpasar, Bali. Keduanya merupakan orang berpendidikan, sama-sama lulusan S1. Di mana sang suami menjadi karyawan perusahaan biro perjalanan dan istrinya di bidang perhotelan. Hubungan mereka awalnya damai dan rukun serta bahagia hingga perselisihan mulai terjadi di antara mereka.
Si istri masih terngiang saat suaminya ingin bergabung dengan ISIS pada 1 Januari 2013 dan ia menolak. Terjadi perselisihan panjang dan adu mulut yang tak berkesudahan. Sang suami juga mengajak istrinya untuk bergabung dengan dirinya pergi ke Suriah menjadi anggota ISIS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masukan dan penolakan istri diabaikan sang suami. Pada 5 April 2014, si suami lalu meninggalkan rumahnya tanpa pesan. Sebagai muslim, suami seharusnya berkewajiban menafkahi istrinya, tetapi hal itu tidak dilakukan suami hingga menelantarkan istri berbulan-bulan lamanya. Setelah ditunggu satu tahun tanpa kabar, si istri lalu menggugat cerai suaminya ke pengadilan agama setempat.
"Suaminya sudah berada di Suriah dan telah mengetahui permohonan cerai ini dan tidak keberatan," ujarnya.
Atas fakta di atas, Pengadilan Agama (PA) Gianyar mengabulkan gugatan tersebut.
"Mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek," putus majelis PA Gianyar yang terdiri dari Nur Lailah Ahmad, M Taufiq Rahmani dan Andriyanti. Ketiganya mengutip kitab Ghoyatul Marom yang berbunyi:
Di waktu istri sudah sangat tidak senang pada suaminya, maka hakim diperkenankan menjatuhkan talak si suami.
Selain itu, majelis hakim juga merujuk pada Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No 9/1975 jo Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam Indonesia yang menyatakan bahwa antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
"Menjatuhkan talak satu ba'in shugra tergugat terhadap penggugat," ucap majelis dengan suara bulat. (asp/erd)











































