Pengamat intelijen dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, perlu ada regulasi yang tepat dalam menangani masalah terorisme. Karena pelaku teror yang sudah pernah dipenjara dan kemudian bebas itu bisa bertindak lebih radikal.
![]() |
"Saya lebih lihat track record-nya, mereka pernah ditangkap untuk kasus terkait terorisme, dan setelah keluar ternyata masih berkiprah lagi di kegiatan radikal, bahkan bergabung dengan ISIS," ujar Khairul saat berbincang dengan detikcom, Kamis (17/1/2016).
Khairul menilai, masih ada yang belum 'pas' dalam upaya pemerintah untuk menanggulangi masalah terorisme di tanah air. Harus ada penanganan yang lebih konstruktif terhadap aktor teror ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Khairul juga menilai, saat ini pola teror yang dilakukan telah berubah. Para pelaku lebih terang-terangan melancarkan aksi di ruang terbuka.
"Selama 15 tahun terakhir ini, kita beberapa kali mengalami peristiwa teror. Ternyata kita masih belum menemukan formula yang konstruktif untuk meredam aksi kelompok ini," jelasnya.
Untuk itu, Khairul setuju jika harus dilakukan revisi UU nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme. "UU terorisme itu kan disusun pada pola gerakan pada masa itu, yakni Amrozi Cs. Kemudian saat ini bergeser pada metode serangan yang lebih terbuka dan menyasar area publik. Simultan dan acak. Itu perlu diakomodir oleh UU terorisme ini. Dan siapa leading sektornya juga harus ditentukan," kata Khairul.
"Dengan catatan, revisi UU itu tetap bagaimana mencari formula meningkatkan kewaspadaan tinggi tanpa menganggu kenyamanan aktivitas warga," tambahnya.
Nama Muhammad Bahrun Naim Anggih Tamtomo alias Naim pertama kali mencuat ke permukaan ketika ditangkap oleh Densus 88/Anti-Teror pada 9 November 2010. Saat itu Naim ditangkap bersama sejumlah barang bukti berupa ratusan butir amunisi ilegal.
Sedangkan Afif pernah mengikuti pelatihan militer di Aceh yang tergabung dalam jaringan Jamaah Islamiah yang dipimpin Aman Abdurrahman. Atas keikutsertaannya itu, Afif ditangkap oleh Densus 88 dan divonis tujuh tahun kurungan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2010. Afif dikabarkan bebas pada Agustus 2015 lalu.
(jor/mad)