Setio dan Ratna merupakan pasangan suami istri (pasutri) yang sehari-hari terpaksa menjadi manusia gerobak. Dengan gerobak itu, keduanya mencari nafkah, baik memulung atau menjual buah-buahan ke kampung-kampung Jakarta. Di tengah kemiskinan, pasutri yang menikah massal gratis pada 2013 lalu itu berusaha mencari penghasilan yang halal, meski menjadi manusia gerobak.
Jika hujan datang, mereka menepikan gerobaknya di emperan toko dan berteduh. Ketika malam tiba, mereka berdua tidur di dalam gerobak dengan kain yang menutup bagian atas gerobak untuk mencegah nyamuk masuk. Untuk keperluan mandi, keduanya menggunakan berbagai fasilitas WC umum yang ada. Baju yang melekat hanya satu dua potong yang disimpan di dalam gerobak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak ada dokter, tidak ada bidan, tidak ada peralatan medis. Ratna tiduran di atas gerobak. Perlahan, kepala bayi lalu keluar dan disusul seluruh badan. Sakit yang tidak terkira membuat Ratna pingsan. Karena tanpa kesiapan persalinan, bayi tersebut jatuh ke tanah.
Berdasarkan hasil visum yang dilakukan belakangan (visum dilakukan oleh RSCM dengan hasil visum nomor 127/VER/19/03/15/III/2015 tertanggal 30 Maret 2015), kematian bayi disebabkan si bayi jatuh ke tanah tersebut. Setio lalu memasukkan jenazah bayi itu ke kardus air mineral.
"Rat, anaknya mati," kata Setio kepada istrinya setelah Ratna siuman.
Dua hari setelahnya, Setio tiba-tiba membuang karung berisi jenazah bayi ke tumpukan sampah di sudut pojok bawah jembatan tol Cawang. Setio mengambil korek api dan membakar tumpukan sampah tersebut, berharap si jabang bayi ikut terbakar sehingga tidak menyisakan jejak. Istrinya kaget dan segera mengguyur tumpukan sampah tersebut. Namun setengah badan bayi sudah habis terlalap api.
Dua hari berlalu, karung bayi yang dibakar itu dibiarkan teronggok di atas tumpukan sampah. Hingga seorang anak menemukan karung tersebut dan segera memberitahu satpam gedung yang paling dekat dengan lokasi tumpukan sampah tersebut. Kasus ini lalu segera dilaporkan ke Polsek Jatinegara dan disidangkan secara terpisah.
"Saya tidak mau punya uang (untuk mengubur) dan tidak mau merepotkan orang lain (prosesi penguburan)," kata Setio menjelaskan alasan membakar jenazah bayinya.
Atas perbuatannya, Setio dan Retno diancam UU Perlindungan Anak dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara serta Pasal 181 KUHP tentang Penyembunyian Mayat dengan ancaman hukuman 9 bulan.
"Saya juga takut ketahuan orang atau warga yang lewat lalu lalang," ujar Setio.
Setelah diadili, majelis hakim hanya meyakini Setio-Retno bersalah menyembunyikan kematian manusia. Setio dihukum 9 bulan penjara dan Retno 7 bulan penjara. Tuduhan UU Perlindungan Anak tidak terbukti dan keduanya lolos dari ancaman 20 tahun penjara.
Kini, mereka berpindah tempat tinggal. Jika sebelumnya di gerobak, kini menghuni hotel prodeo selama 9 bulan dan 7 bulan. (asp/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini