Setelah bergulirnya reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Hal ini menyebabkan MPR tak perlu membuat GBHN yang harus dipertanggungjawabkan oleh Presiden. Pasca reformasi, Presiden harus memiliki visi dan misi sendiri untuk membangun Indonesia.
"Jadi saat ini untuk kebijakan memang adanya DPR, MPR dan Presiden. Sejak tahun 1998 dan terjadinya amandemen konstitusi, ketatanegaraan kita berubah juga. Dan sejak Pemilu tahun 2004, utusan daerah bermetamorfosis menjadi DPD RI. Sehingga muncullah istilah dalam tanda petik sistem dua kamar," ujar pakar ilmu politik LIPI, Siti Zuhro saat berbincang dengan detikcom, Selasa (12/1/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini yang menjadikan DPD ini simalakama karena di satu sisi dibentuk sebagai perwakilan daerah yang dipilih secara langsung dengan DPR, tetapi tidak punya fungsi legislasi, fungsi pengawasan," jelasnya.
Siti sendiri sempat mengamati Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah yang dilakukan di era Pilkada saat ini. Dia menemuka fakta bahwa kabupaten seolah olah terpisah dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi.
"Padahal namanya provinsi ini ada kabupaten kota. Ini yang menjadikan repot negara ini karena tidak menunduk, padahal satu kesatuan yang utuh. Jangan-jangan karena kita tidak memiliki GBHN, sehingga daerah cuma mengacu pada visi dan misi," kata Siti.
"Makanya sekarang kita mulai sadar bahwa saat ini tidak jelas target pembangunan kita, padahal sebentar lagi Indonesia akan menuju ke 100 tahun kemerdekaan. Target pembangunan jangka panjang negara ini seperti apa bentuknya hingga saat ini masih belum jelas, padahal tahun lalu kita sudah 70 tahun merdeka," kata dia.
Wacana untuk menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ini memang disambut positif oleh sejumlah kalangan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa sebagai sebuah negara kesatuan yang sebentar lagi akan berusia 1 abad, Indonesia perlu memiliki rencana jangka panjang untuk menentukan nasib ke depan.
"Menurut saya seluruh negara itu membutuhkan tampilan, dan tampilan itu perlu kita akui, karena dalam berbangsa dan bernegara harus ada triggernya. Oleh karena itu pembangunan itu harus ditentukan jalannya, harus ada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), setiap 5 tahun harus di evaluasi," ujar Siti.
Dia mencontohkan dengan konteks Pilkada langsung yang saat ini dilakukan. Menurutnya pemerintah tak memikirkan rencana jangka panjang sehingga daerah daerah tersebut seperti kehilangan arah dan menyimpang dari tujuan nasional.
"Dalam konteks Pilkada langsung, itu tidak terpikirkan sama sekali, cuma terpikirkan tapi tidak dipikirkan untuk jangka panjang negara ini akan seperti apa. Lalu kita kehilangan arah, kita sudah mulai tidak mengerti dengan posisi kita yang mengatakan tujuan nasional kita seperti apa?," jelasnya.
"Itu yang harus dirumuskan dalam blueprint Repelita, di tahun 2015 lalu. Sebenarnya 30 tahun lagi Indonesia akan seperti apa? ini harus dipikirkan bersama-sama," sambung Siti.
Menurutnya negara harus menyadari bahwa 30 tahun mendatang Indonesia akan berusia 100 tahun. Dalam 100 tahun ini harus dilihat lagi, ke mana arah pembangunan bangsa akan berlabuh, apakah sesuai dengan tujuan nasional kita menurut konstitusi.
"Sehingga GBHN menjadi sangat signifikan, relevan dan esensial diimplementasikan karena terbukti setelah 27 tahun tanpa GBHN kita membangun kemana-mana, ngalor ngidul," kata dia.
Lalu bagaimana cara menghidupkan kembali GBHN di era demokrasi ini? apakah dengan menguatkan kembali posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara? lalu bagaimana dengan DPD?
"Itu memang harus dilakukan dengan mengubah kembali amandemen konstitusi kita. GBHN dikuatkan dengan dipayungi secara hukum, apakah dengan UU atau dengan konstitusi dan tentunya harus dikaitkan dengan sistem perwakilan kita, ada DPR ada DPD RI. Sudah pasti itu (dengan) menghapuskan utusan daerah dan utusan golongan, semuanya dipilih oleh rakyat," usulnya. (rii/imk)











































