Pertaruhan Nyawa Warga Gunungkidul Mencari Air hingga ke Perut Bumi

Pertaruhan Nyawa Warga Gunungkidul Mencari Air hingga ke Perut Bumi

Sukma Indah Permana - detikNews
Rabu, 06 Jan 2016 11:02 WIB
Foto: Sukma Indah P/detikcom
Gunungkidul - Kabupaten Gunungkidul saat ini semakin menggeliat mencuri perhatian dengan segala potensi wisata alam yang menarik perhatian wisatawan. Namun di sisi lain, masalah ketersediaan air bersih di beberapa wilayahnya masih menjadi pekerjaan rumah yang menuntut untuk segera diselesaikan.

Salah satu yang masih menantikan air bersih bisa mengalir lancar adalah warga Desa Giripurwo. Desa yang bersebelahan langsung dengan Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul ini bisa dicapai dengan perjalanan selama sekitar 1,5 jam dari pusat kota Yogyakarta melalui Jalan Parangtritis.

Hampir seluruh wilayahnya merupakan bukit batuan karang yang kering. Sebagian besar warganya bertani jagung dan padi gogo pada saat musim hujan, dan menanam ketela saat kemarau.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi warga Desa Giripurwo, air bagaikan emas yang sangat berharga. Demi mendapatkannya, warga harus menempuh jarak hingga 7 kilometer atau mengandalkan air hujan saat musim hujan tiba.


Lalu di musim kemarau, warga harus rela mengantre berjam-jam demi memperoleh air yang tak seberapa. Berkelahi karena air hampir terjadi setiap hari di desa ini.

Namun keadaan itu kini telah berlalu. Sejak 2012, warga Desa Giripurwo dan Giricahyo bergeliat. Cerita perjuangan mereka berawal pada tahun 1997.

Warga yang memang sejak lama memanfaatkan mata air pego menemukan harapan yang lebih besar.

"Dulu antre jam 12 malam, jam 7 pagi baru dapat air. Warga sering ribut karena air di sini (mulut gua Pego)," ujar salah seorang warga Sunarto (61) di Desa Giripurwo, Kecamatan Purwosari, Gunungkidul, Senin (4/1/2016).

Hingga suatu saat, seorang warga yang bernama Wiyono berusaha masuk ke lorong gua yang sempit untuk mencari tahu keadaan di dalamnya. Lorong sempit gua hanya bisa dimasuki satu per satu orang dengan merangkak.

Merangkak dan merayap hingga jarak 80 meter, Wiyono menemukan ruangan yang lebih lapang. Sekitar 1,5 meter x 4 meter. Tak hanya itu, Wiyono melihat lubang berukuran satu orang dewasa yang mengarah jauh ke bawah.

"Beliau mendengar ada suara aliran air di bawah. Tapi tidak terlihat karena gelap. Temuannya ini dilaporkan ke perangkat desa," kata Sunarto.

Kemudian ada 3 orang warga yang memutuskan turun ke sumber suara air tersebut. Dengan tali tambang seadanya, mereka menuruni gua yang ternyata dalamnya mencapai 80 meter.


Sesampainya di dasar gua, mereka menemukan air yang melimpah. Dasar gua dengan diameter 20 meter, dipenuhi air hingga kedalaman mencapai 6-8 meter. Namun cerita ini masih permulaan. Perjuangan bahkan belum bisa langsung dimulai.

"Ternyata satu orang (dari 3 orang yang turun) setelah sampai bawah nggak berani naik. Sampai geger warga desa menolong orang itu naik," kenangnya.

Berbagai cara diusahakan warga untuk bisa menaikkan air yang tersimpan di perut bumi itu. Bertahun-tahun lamanya, warga menggandeng banyak pihak namun belum juga membuahkan hasil.

Pada saat gempa besar di Yogyakarta 2006, warga memperoleh bantuan berupa bak untuk menampung air dari mulut permukaan gua. "Ada dari kampus swasta bilang tidak ada air di dalam. Kami jadi terlupakan dengan temuan pak Wiyono," katanya.

Baru ketika tahun 2011, Sunarto kembali ingat dengan temuan Wiyono pada 1997 silam. Dia berharap ada peneliti lagi yang bersedia memastikan apakah ada air di perut bukit batu karang tersebut.

"Saya bawa ke Badan Wakaf Alquran (BWA). Mereka bilang akan segera ditindaklanjuti. Tahun itu juga pak Darminto turun dan memastikan memang ada air yang sangat banyak," tutur Sunarto.

Bahkan Darminto memperkirakan, banyaknya air di bawah sana mencapai 1,8 liter air bersih. Menurut perhitungannya, pasokan air tersebut akan mampu memenuhi 3 pedukuhan selama setengah Bulan tanpa suplai tambahan. Padahal aliran air di sana terus mengalir.

Dengan bantuan berbagai pihak dan bertahap, BWA yang juga didukung oleh sejumlah perusahaan dan pewakaf membangun instalasi pompa air dan segala pendukungnya.

Sampai akhirnya pengangkatan sumber mata air ini diresmikan oleh GBPH Prabukusumo pada 23 Juli 2012.

"Saya langsung pakai mandi saat itu," kenang Sunarto.

Membangun instalasi pompa, pipa hingga bendungan di kedalaman 80 meter horizontal ditambah 80 meter vertikal bukan perkara mudah. Baru tahun 2015 ini secara teknis mereka merasakan progres positif.

"Sampai saat ini sudah ada hampir 1.000 KK yang memiliki meteran air. Saya seumur hidup baru 2 tahun yang lalu air bisa datang sendiri ke rumah," ujarnya sambil tersenyum.

Salah seorang pengelola, Irwan menjelaskan biaya yang dikenakan kepada warga ditetapkan secara berjenjang. Diasumsikan, warga yang menggunakan air lebih banyak dianggap memiliki kemampuan financial yang lebih tinggi.

"Kalau nggak mampu, dia hanya pakai untuk kebutuhan dasar," katanya.

Tarif yang ditetapkan yakni 5 kubik pertama Rp 6 ribu, 6-15 kubik Rp 10 ribu, 16-25 kubik Rp 15 ribu, dan lebih dari 25 kubik Rp 20 ribu.

Pengelolaan pompa dan segala instalasinya saat ini dipegang oleh warga setempat. Keterbatasan tenaga menjadi pekerjaan rumah.

Salah satu penyandang dana atau wakif, Yunus Husein dan istrinya Musrifah berharap warga bisa segera mandiri mengurus segala hal tentang distribusi air dari Mata air Pego ini. Selama ini setiap ada masalah teknis selalu digarap oleh teknisi Jakarta.


"Warga harus diikutsertakan supaya tidak bergantung terus pada pihak lain," kata Yunus.

Untuk itu, Yunus dan wakif lainnya sedang membentuk pengurus wakaf agar pengelolaan Sumber Mata air Pego dapat berjalan lebih serius. Yunus juga menggandeng Pemda setempat untuk meningkatkan kualitas instalasi pompa air di sana.

Dia sempat mengajak Wakil Bupati Gunungkidul terpilih Immawan Wahyudi untuk meninjau langsung sumber mata air ini. Dia berharap pemda Gunungkidul dapat membantu pemasangan listrik 3 fase.

Pemasangan listrik 3 fase menjadi penting karena pompa di dasar bukit Pego memerlukan support tersebut. Selama ini kerja pompa didukung oleh genset yang menghabiskan banyak biaya.

Sunarto mengungkapkan untuk biaya pembelian solar selama satu bulan bisa menghabiskan biaya hingga Rp 10 juta yang diambil dari uang yang dibayarkan warga. Saat ini sudah ada lift listrik yang dipasang untuk operasional seharga sekitar Rp 70 juta.

"Sekarang sudah ada liftnya untuk turun ke dasar. Nggak perlu narik-narik lagi kalau ada yang mau naik turun," kata Yunus. (sip/trw)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads