Perdagangan Satwa Liar dan Aksi Jokowi Borong Burung di Pasar Pramuka

Burung Kebun Raya Bogor

Perdagangan Satwa Liar dan Aksi Jokowi Borong Burung di Pasar Pramuka

Aditya Fajar Indrawan - detikNews
Selasa, 05 Jan 2016 16:44 WIB
Foto: Ilustrasi oleh Andhika Akbarayansyah
Jakarta - Kritik muncul dari kalangan aktivis pecinta satwa terhadap Presiden Joko Widodo. Aksi memborong burung di Pasar Pramuka meski untuk tujuan dilepasliarkan di Kebun Raya Bogor berpotensi menyuburkan praktik perdagangan satwa liar di Indonesia. Bagaimana penjelasannya?

Di laman Facebook, Presiden Jokowi menerangkan, pada akhir pekan lalu dia membeli 190 ekor burung di Pasar Pramuka. Itu bukan aksi pertama Jokowi memborong burung di sana. Pada Februari 2015 lalu, dia juga membeli ratusan burung dengan tujuan untuk dilepasliarkan di Istana Bogor dan Jakarta.

Niatnya baik. Selain memberikan 'kebebasan' pada burung-burung tersebut, Jokowi juga ingin membantu perbaikan ekosistem di tempat pelepasan. "Burung harus dilindungi dan jumlahnya diperbanyak. Melepas burung atau melepas ikan di sungai upaya kita merawat keseimbangan alam," tulis Jokowi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun ternyata, ada efek domino yang bisa timbul dari pembelian satwa-satwa liar di Pasar Burung Pramuka tersebut. Hanom Bashari dari Burung Indonesia mengatakan, bila burung-burung di pasar diborong, maka ada peluang bagi para pedagang untuk kembali mencari burung lainnya di alam, karena dagangannya sudah laku terjual. Meski burung tersebut bukan jenis yang dilindungi, tetap saja hal itu membahayakan ekosistem.

Sejauh pemantauan Burung Indonesia, pasar-pasar burung di Indonesia menjual burung hasil tangkapan dari alam. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, hewan liar yang bisa diperjualbelikan hanya hewan hasil penangkaran. (Baca Juga: Ini daftar hewan yang dilindungi di Indonesia)

"Walaupun pasar burung jual belinya diperbolehkan, tapi sebetulnya yang bisa dijual itu seharusnya dari penangkaran," tegasnya.

dok. Istana Kepresidenan


Organisasi non pemerintah Scorpion Wildlife Trade Monitoring Group juga mengomentari hal ini. Bila Presiden memborong burung dari Pasar Pramuka, dikhawatirkan memberikan pesan pada pelaku perdagangan satwa liar bahwa upaya penegakan hukum tidak berjalan.

Scorpion juga mengkhawatirkan aksi Presiden bisa ditiru oleh kalangan masyarakat lain, sehingga akhirnya membuat perdagangan burung semakin meluas.

"Itu akan sangat berbahaya karena malah mendorong pengambilan burung dari alam liar secara-besar besaran akibat permintaan yang kian meningkat," kata Investigator Senior Scorpion Wildlife Trade Monitoring Group Marison Guciano dalam siaran tertulis.

Jokowi di Pasar Pramuka (foto: Moksa/detikcom)


Traffic, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memonitor jaringan perdagangan hewan dan tanaman liar yang berbasis di Inggris, pernah mengadakan survei di 3 pasar burung di Jakarta, yakni Pramuka, Jatinegara dan Barito. Survei dilakukan pada 21-23 Juli 2014 lalu.

Hasil surveinya seperti berikut:

1. Jumlah burung yang dijual dari 3 pasar burung tersebut adalah 19.036 ekor burung dari 206 spesies.

2. Dari 19.036 ekor, 18.641 ekor burung atau 98 persennya dari 184 spesies adalah burung yang ditangkap di Indonesia, yang ditangkap dengan melanggar ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

3. 3.884 Ekor burung asli Indonesia atau sekitar 20 persen dari 19.036 ekor, dari 51 spesies, adalah endemik alias cuma ada di Indonesia dan tak ada di tempat lain manapun di Bumi. 8 Dari 51 spesies dinilai terancam masuk daftar merah Serikat Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN/International Union for Conservation of Nature) alias terancam punah.

4. 8 Spesies endemik Indonesia yang terancam punah adalah: jalak bali (Leucopsar rothschildi), jalak putih (Acridotheres melanopterus), keduanya berstatus kritis terancam punah. Sedang burung poksai kuda (Garrulax rufifrons) terancam punah.

Survei ini dinyatakan sebagai survei burung yang menyeluruh pertama kali pada 3 pasar burung terbesar di Jakarta. Dari ketiga pasar burung itu, Pasar Pramuka memiliki jumlah burung terbanyak, lebih 10 kali lipat dari jumlah burung di Barito dan Jatinegara.

Banyaknya burung-burung yang ditemukan di pasar tersebut menunjukkan bahwa budaya untuk memelihara burung memiliki peran yang signifikan di Indonesia. Kompetisi kicau burung juga menambah permintaan burung-burung yang kerap menjadi juara dan ini menimbulkan tekanan pada jumlah spesies di alam liar. Hasilnya, beberapa spesies terancam bahaya karena bisa hilang akibat perdagangan burung ini.

"Ini kiamat bagi dunia burung Indonesia. Jumlah burung yang tercatat di 3 pasar dalam 3 hari, adalah dampak dari perburuan dan perdagangan menyebabkan populasi burung liar berkurang drastis," tutur Serene Chng, penulis laporan survei yang juga Programme Officer Traffic di Asia Tenggara.

Hasil survei ini juga menarik perhatian koran AS, New York Times. Media terkemuka ini menurunkan artikel bertajuk "19,000: Birds for Sale in Jakarta's Biggest Markets" pada 23 Oktober 2015. (mad/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads