Dalam gugatannya tersebut, KLHK menunjuk pengacara Jasmin Ragil Utomo dkk untuk bersidang di pengadilan, bukan Jaksa Agung.
"Kasus ini bukan yang kali pertama KLHK dikalahkan melalui sidang pengadilan dan akhir-akhir ini KLHK telah mengukir sejarah kekalahannya kembali," kata anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo kepada detikcom, Selasa (5/1/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lemahnya materi gugatan yang diajukan pemerintah karena dalam proses persidangan perlu pembuktian-pembuktian yang kuat. Fakta persidangan juga salah satu pertimbangan majelis hakim untuk menjatuhkan sanksi gugatan tersebut kapad pihak yang bersengketa," papar Firman.
Selain itu, gugatan tersebut juga nilainya sangat fantastis yaitu mencapai Rp 7,9 triliun. Namun sayang, nilai gugatan yang fantastis ini tidak didukung dengan argumen yang kuat dan pembuktiannya lemah.
"Yang saya khawatirkan karena Dirjen Penegakan Hukum yang basic-nya bukan sarjana hukum dan seorang sarjana kimia, mungkin tidak memahami subtansi hukumnya. Lebih-lebih kalau gugatan yang dilakukan karena desakan publik dan agar mendapat apresiasi publik dengan tuntutan perdata ganti rugi yang mencapai triliuan sehingga masyrakat memberikan apresiasi atas gugatan tersebut. Namun pemerintah lengah yaitu lemah dalam gugatan dari aspek hukum," beber Firman.
Kekuranghati-hatian ini menjadi kunci dan pintu masuk kekalahan gugatan tersebut. Padahal, kebakaran hutan merupakan tindakah yang setiap tahun terjadi dan korbannya sangat banyak.
"Alih-alih merupakan tindakan gugatan yang emosional dan sekadar untuk pencitraan saja," pungkas Firman.
Meski demikian, kata Firman, peran majelis hakim juga harus dilihat. Apakah memutusnya sesuai keadilan ataukah hukum belum menjadi panglima di negeri ini. (asp/tor)











































