Suparto menilai hakim telah melakukan nawadusta yang bertolak belakang dengan nawacita Presiden Jokowi.
"Ini menjadi hadiah ulang tahun terburuk dalam penegakan hukum lingkungan. Semua pihak harus punya kesepakatan jangan sampai melakukan nawadusta," ujar Suparto kepada detikcom, Senin (4/1/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sehingga Suparto menganggap putusan tersebut perlu dijadikan sebagai refleksi awal tahun untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebab pembakaran hutan sudah lama menjadi aksi teror terhadap kehidupan ekologi.
"Ini refleksi awal tahun kita ke depan. Saya berharap Pak Hakim memahami bahwa bagaimana mungkin jutaan orang jadi korban ISPA, iritasi mata dan mengalami penurunan kecerdasan karena asap. Ini ada tragedi massal yang bisa disebut teror ekologis," papar Suparto.
"Apakah peristiwa menandakan pudarnya ekologi itu. Kasus lingkungan diharapkan diatasi hakim yang tersertifikasi. Mudah-mudahan ini bukan jadi kecelakaan yuridis yang jadi preseden," sambung Suparto.
Di samping itu, Suparto juga khawatir materi gugatan yang diajukan oleh KLHK lemah. Oleh karenanya, ia berharap ke depan KLHK dapat menyiapkan materi dengan lebih baik lagi.
Namun Suparto berpesan agar KLHK tidak lantas berkecil hati. Justru dengan adanya kekalahan seperti ini, pemerintah harus bisa memunculkan materi gugatan yang baru.
"Ingat ada 3 jerat hukum bagi para bakar hutan. Ini kan baru sanksi administrasi, ada sanksi pidana berupa biaya pemulihan. Masih ada peluang hukum baru meskipun tidak besar, kementerian tidak boleh kecil hati. Harus optimis," terangnya.
Suparto juga menyarankan agar Komisi Yudisial (KY) bisa menyelidiki adanya pelanggaran etika terkait putusan hakim PN Palembang.
"Putusan ini harus diselidiki serius. Untuk KY mumpung penyidiknya baru, harus merespon ini sekaligus jadi momentum untuk menyelidiki etika. Ada apa peristiwa besar semacam ini malah ada pembebasan," tutup Suparto.
Sebelumnya, pemerintah menggugat perdata PT BMH yang merupakan anak perusahaan dari PT Sinar Mas sebesar hampir Rp 8 triliun (kerugian lingkungan hidup Rp 2,69 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp 5,29 triliun) atas kasus kebakaran hutan dan lahan di areal konsesinya. Versi pemerintah, PT BMH digugat perdata karena dianggap tidak serius dan lalai dalam mengelola izin yang diberikan sehingga terjadi kebakaran yang berulang, yakni pada tahun 2014 dan 2015 di lokasi yang sama mencakup luas sekitar 20 ribu hektare. (aws/asp)











































