Komisioner KPAI Susanto menyayangkan kasus pendisiplinan oleh guru-guru tersebut harus berujung ke meja hukum. Menurutnya, guru bisa memberi teguran kepada siswa dengan cara yang lebih edukatif lagi.
"Tantangan guru zaman sekarang enggak mudah, makanya perlu membangun banyak strategi. Sepanjang misalnya siswa melanggar tata tertib itu tentu harus ada konsekuensi yang edukatif. Guru masih berpikir bahwa anak yang melanggar dapat sanksi. Padahal, logika hukum tidak bisa diterapkan dalam logika pendidikan," ujar Susanto saat dihubungi wartawan, Senin (4/1/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harusnya kita lebih mencari formula yang edukatif. Sebab pendisiplinan itu cenderung dimaknai konotasinya dengan hukuman padahal paradigmanya itu pengembangan perilaku. Kalau hukuman itu efektif hanya untuk jangka pendek, tapi perilaku ke depannya belum tentu anak mau mengikuti aturan dan norma," papar Susanto.
"Kita harus lihat konteksnya. Kalau cukur rambut itu secara tuntas dan pantas saya kira (tindakan guru) enggak dianggap sebagai pelanggaran. Tidak sedikit guru cukur rambut enggak tuntas sebagai bentuk punishment. Itu yang sebenarnya yang enggak pantas," imbuh Susanto.
Seperti diberitakan sebelumnya, Aop Saopudin yang merupakan guru SDN Penjalin Kidul V nyaris dijebloskan ke dalam penjara dengan pidana percobaan karena mencukur rambut siswanya yang gondrong pada 19 Maret 2012. Tidak terima, orang tua siswa, Iwan malah mencukur balik rambut Aop dan mempolisikannya.
Dalam penyidikan dan dakwaannya, polisi dan jaksa mendakwa Aop dengan UU Perlindungan Anak. Versi polisi dan jaksa, perbuatan Aop mencukur siswa SD kelas III itu dinilai telah melakukan perbuatan diskriminasi dan penganiayaan terhadap anak hing
ga sang guru terancam 5 tahun penjara. Aop dituding melanggar Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak yang berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Adapun Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak berbunyi:
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.
Pasal yang bersifat luas dan multitafsir itu digunakan oleh polisi dan jaksa untuk menjerat Aop. Untuk memberatkan dakwaannya, jaksa juga
memasukkan pasal sapu jagat dalam KUHP yaitu Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Pasal ini berbunyi:
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memaknai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
Dengan tiga pasal ini pada 2 Mei 2013, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Majalengka pun mengamini dakwaan jaksa dan menyatakan Aop telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan terhadap anak didiknya. Hukuman percobaan pun dijatuhkan.
Kemudian hukuman ini dikuatkan di tingkat banding. Di mana Pengadilan Tinggi (PT) Bandung sepakat dengan PN Majelengka untuk memberi hukuman kepada Aop karena dianggap telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dengan mencukur rambut siswanya.
Atas putusan tersebut, Aop lalu mengajukan kasAsi. Palu keadilan diketok MA dan membebaskan Aop. Pada 6 Mei 2014, hakim agung Dr Salman Luthan dengan anggota Dr Syarifuddin dan Dr Margono membebaskan Aop karena menilai sebagai guru, Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah panjang atau gondrong dan apa yang sudah dilakukan terdakwa sudah menjadi tugasnya sehingga tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan tidak menyenangkan. (aws/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini