"Sejak Abad ke-13 hingga kini, belum ada gambaran tentang sosok Gajah Mada. Catatan sejarah soal deskripsi fisik, tidak ada," kata sejarawan UGM Bahaudin kepada detikcom, Selasa (29/12/2015).
Bahaudin menjelaskan, tak ada gambaran yang eksplisit menjelaskan soal Gajah Mada di candi-candi peninggalan Majapahit. Di Kitab Pararaton dan Negarakertagama juga tak menjelaskan deskripsi fisik Gajah Mada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena catatan soal deskripsi fisik Gajah Mada tidak ada, maka yang tersisa hanya misteri. Ruang misteri ini diisi secara imajinatif oleh Muhammad Yamin, sejarawan yang menjadi Menteri Penerangan era Presiden Soekarno.
"Gambaran wajah Gajah Mada yang kita kenal itu memang imajiner. Itu imajinasi Mohammad Yamin mengenai gambaran Gajah Mada yang sakti mandraguna," kata Bahaudin.
Maksud M Yamin sebenarnya baik-baik saja, yakni untuk membangkitkan nasionalisme. Soalnya pada waktu itu Indonesia belum lama merdeka dari penjajahan bangsa lain. Indonesia butuh satu sosok yang bisa menguatkan batin bangsa. Lahirlah gambaran soal fisik Gajah Mada. Memang menurut M Yamin, Gajah Mada berkontribusi menyatukan Nusantara yang kelak akan menjadi Indonesia.
"Itu murni imajinasinya M Yamin untuk membangkitkan nasionalisme, untuk mendekolonisasi sejarah yang dulu sangat Belanda-sentris," kata Bahaudin.
![]() |
Baiklah, kalau memang tak ada catatan fisik soal Gajah Mada. Bukan hanya catatan fisik yang nihil, bahkan perjalanan hidup Gajah Mada juga sedikit banyak menyisakan kekaburan.
Bahaudin menjelaskan, soal asal usul Gajah Mada-pun ada beberapa versi. Ada yang menyebut dia berasal dari Lamongan, ada pula versi yang menyebut dia berasal dari Ibu Kota Majapahit. Soal akhir hidupnya, ada yang menyebut Gajah Mada moksa alias mengakhiri hidup di dunia tanpa meninggalkan residu (lenyap raganya), ada pula yang menyebut Gajah Mada meninggal di desa terpencil.
"Satu versi bahkan menyebut, setelah peristiwa Perang Bubat Gajah Mada diturunkan dari jabatan perdana menteri. Setelah itu dia tak terdeteksi ke mana. Ada yang menyimpulkan dia moksa, ada yang mengatakan dia bermukim di desa terpencil sampai meninggal dunia," tutur Bahaudin.
Jangankan soal perjalanan hidup, soal nama 'Gajah Mada' sendiripun juga masih merangsang interpretasi. Memang ada, katakanlah, tren era Majapahit memberi nama orang dengan nama hewan, seperti Gajah Mada, Lembu Sora, Lembu Peteng, Hayam Wuruk, dan lain sebagainya. Bahaudin menyatakan bisa jadi itu bukan nama sebenarnya.
"Kemungkinan itu adalah sebutan, semacam nickname. Ada nama asli dan ada nama sebutan. Namun memang tertera nama demikian,'Gajah Mada'," kata Bahaudin. (dnu/ear)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini