"Putusan hukuman terhadap koruptor selama ini ibarat tajam di bawah, tumpul ke atas," kata Dr Rimawan Pradiptyo, peneliti bidang ekonomi kriminalitas Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) kepada wartawan, Selasa (22/12/2015).
Rimawan mengatakan sepanjang tahun 2001 - 2013 sedikitnya terdapat 1.518 kasus yang melibatkan 2.145 terdakwa yang ditangani oleh lembaga penegak hukum dan telah diputuskan hukumannya oleh Mahkamah Agung (MA). Namun dari jumlah tersebut hukuman finansial yang dijatuhkan MA tersebut terkesan sangat berat pada terdakwa koruptor yang melakukan korupsi di bawah Rp 10 juta.
Β
Menurut dia, hukuman finansial itu merupakan gabungan dari putusan denda, biaya pengganti dan perampasan barang bukti yang dijatuhkan MA kepada terdakwa kasus korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk koruptor gurem terdapat 85 terdakwa dengan total kerugian negara Rp 468 juta. Namun total hukuman finansial yang dijatuhkan oleh MA sebesar Rp 22,1 miliar. Sebaliknya bagi koruptor kelas kakap yang berjumlah 104 orang dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 68 triliun, hukuman finansial yang dijatuhkan hanya Rp 700 miliar.
"Hukuman finansial bagi korupsi kelas gurem mencapai 47 kali lipat dari nilai kerugian negara, bandingkan hukuman bagi koruptor kakap yang hanya seperseratusnya saja dari nilai kerugian negara," katanya.
Menurut dia, sepanjang 13 tahun tersebut, total kerugian negara mencapai Rp 107,14 triliun. Sedangkan total hukuman finansial yang dijatuhkan oleh MA hanya Rp 10,77 triliun. Padahal di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tuntutan jaksa sebelumnya mencapai Rp 45,84 triliun.
Berdasarkan hasil analisa korupsi dan hukuman yang diterapkan kepada koruptor kata dia, diperlukan inovasi jenis hukuman kepada koruptor dengan menciptakan efek reputasi negatif. Hukuman tersebut tidak cukup dengan hukuman penjara semata.
Menurutnya hukuman berbasis efek reputasi negatif bisa dilakukan dalam bentuk dicabutnya hak politik untuk dipilih sebagai politisi dan pejabat publik. Lalu koruptor juga kehilangan akses ke produk keuangan tertentu serta kehilangan akses bekerja di sektor formal.
"Yang lebih penting perlu ada standardisasi penyebutan 'mantan koruptor" di media massa," pungkas Rimawan. (bgs/try)