Salah satunya Martin Hutabarat dari Fraksi Gerindra. Pertama, dia tak ingin DPR semakin disorot karena rencana untuk merevisi UU KPK yang masuk Prolegnas 2015-2016. Ia berharap revisi UU KPK ini menjadi usulan dari pemerintah, bukan dari DPR.
"Paduka yang mulia, saudara menteri yang saya hormati, soal revisi UU KPK sudah merupakan perdebatan lama. Ini sudah tiga kali dilakukan, dan karena penolakan masyarakat, revisi ini tak jadi dilakukan," ujar Martin di ruang paripurna, Nusantara II, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (15/12/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai anggota DPR, Martin merasa risih dengan istilah 'yang mulia'.
"Istilah yang mulia sudah jadi lelucon masyarakat. Katakan yang mulia tapi kelakuannya tidak mulia. Tidak ada lagi sebutan yang mulia karena itu sebenarnya peninggalan Feodal," katanya.
Menurut dia,istilah 'yang mulia' ini juga dihapus sejak 1960 lewat ketetapan MPR. Ia merasa bingung dengan istilah yang dihapus namun justru saat ini dikatakan secara gagah dan bisa dilihat puluhan juta masyarakat.
"TAP MPR tahun 60-an, sudah menghapus 'yang mulia'. Itu gaya Feodalisme. Tapi, kenapa setelah 50 tahun dihapus, sekarang begitu gagahnya 'yang mulia' di tengah puluhan juta masyarakat," ujar Martin yang diselingi tepuk tangan dari sejumlah anggota dewan di ruang paripurna.
(hty/erd)