Masih ingat betul dalam angan dia sewaktu mengumbar nyali saat menulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sejak tahun 1982. Tergugah dia untuk menggambarkan suasana ngeri di dalam negeri, di saat sastrawan lain memilih kisah-kisah romansa manis.
"Para sastrawan jarang melakukan kritik? Ya, kalau angkatan saya karena usia jadi jarang. Tapi kalau yang sastrawan muda agak malas mengkritik, yang saya tahu sastrawan itu kadar idealismenya dibanding kami mungkin berbeda," tutur Ahmad Tohari dalam perbincangan bersama detikcom di Hotel De Rivier, Jl Kali Besar Raya, Jakarta Barat, Sabtu (5/12/2015). Tohari ada di hotel bintang 4 itu untuk mengikuti Seminar Sejarah yang digelar Kemendikbud.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lewat sastra pula, sebuah bangsa bisa mengubah mental ke arah yang lebih baik. Tetapi Tohari khawatir ketika dewasa ini sastra yang kritis dikalahkan dengan sastra yang berorientasi pasar.
"Sekarang apa-apa dihitungnya pakai uang. Sekarang orang mikirnya, 'ngapain bikin sastra buat kritik kalau tidak ada uangnya?'. Berbeda dengan dahulu ketika zaman kemerdekaan bisa menginspirasi orang untuk menulis," kata Tohari.
Penerima SEA Write Award (1995) ini tak menyalahkan perubahan zaman. Tak bisa dipungkiri ketika zaman berubah, maka idealisme turut berubah.
"Ada benarnya jadi dulu pemerintahan sangat represif, jadi sastra bersembunyi di punggung penguasa. Bagaimana zaman saya mau baca puisi itu teksnya harus dibaca polisi dulu. Terus ganti reformasi, itu (represif) hilang, tapi justru berkembang pragmatisme luar biasa," ungkap Tohari.
Dalam hati kecil dari tubuhnya yang juga kecil itu masih tersimpan asa yang besar akan kebangkitan sastra di negeri ini. Bagaimana sastra menjadi bagian dari dialog sosial masyarakat merespons kondisi.
"Mudah sekali lunturnya idealisme. Juga kehidupan sekarang juga apa namanya, apa-apa harus ditukar dengan uang. Saya sih tetap berharap sastra bangkit lagi walaupun minoritas. Masih berharap ada sastrawan muda yang berdiri pada posisi hati nurani kehidupan," ungkap Tohari yang akhirnya tersenyum simpul setelah bertutur menggebu-gebu. (bpn/tor)