Kutipan novel itu mungkin sudah jarang mengisi buku-buku pelajaran dewasa ini. Kalimat-kalimat yang menari-nari dari seorang sastrawan legendaris anak bangsa itu sebelumnya jadi rekaman sebuah zaman ketika tanah air diwarnai pemberontakan.
'Ronggeng Dukuh Paruk', sebuah karya dari Ahmad Tohari (67) yang melegenda di negeri ini. Novel itu menceritakan keadaan Jawa setelah peristiwa pemberontakan tahun 1965.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Bukan rahasia lagi pada tahun-tahun itu karya-karya bernuansa kritik dibungkam pemerintah. Namun Tohari dengan berani menuliskan cerita itu pada tahun 1982.
Sebagai seorang sastrawan, dia juga memiliki senior-senior yang dia segani. Tetapi senior-seniornya itu masih belum berani menorehkan buah pikiran akan kondisi sosial politik lewat tulisan.
"Kalau para senior enggak ada yang nulis ya saya yang nulis. Saya sadar betul bahayanya dan memang saya dipanggil tentara kemudian," ungkap Tohari.
Kini nama Tohari sudah melegenda di dunia sastra Indonesia. Tetapi gayanya tetap bersahaja, dan itu terlihat dari kemeja dengan warna hijau pudar yang dikenakannya.
![]() |
Bercerita dia soal interogasi dari aparat militer selama berhari-hari. Dia seakan dipaksa untuk mengakui bahwa dirinya adalah sisa-sisa PKI.
"Tahun '86. Juli '86 dari tanggal 2 sampai 6, ingat saya. Diperiksa di mabes tentara, dulu namanya Kopkamtib, adanya di Jalan Dharmawangsa I. Intinya saya ditanyakan dengan jawaban yang sudah dibikin. Intinya mereka ingin pastikan kalau saya sisa-sisa PKI. Bukan PKI saya. Tetap saja saya enggak mau ngaku. Saya ini orang NU," ungkap Tohari menggebu-gebu.
Dia kemudian menyilangkan kedua tangannya ke dada. Matanya menyorot tajam, dengan nada suara tegas saat bertutur.
"Saya menulis ini karena sisi kemanusiaan. Saya tak tega melihat orang biasa dibunuh hanya karena dianggap anggota PKI. Kalau yang dibunuh Aidit silakan, Nyoto silakan, mereka komunis betul. Lha, ini orang kampung masa ikut-ikut dibunuh?" kata Tohari seraya mengernyitkan alisnya.
Karyanya dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu kemudian difilmkan dengan judul 'Sang Penari' yang dibintangi Prisa Nasution sebagai tokoh Srintil. Film tersebut bahkan meraih penghargaan, sama halnya dengan novel aslinya.
(bpn/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini