Dalam naskah akademik yang disusun Litbang MA sebagaimana dikutip detikcom, Senin (30/11/2015), disebutkan dalam Pasal 89 bahwa hakim memiliki organisasi tunggal yang bernama Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dengan tujuan turut serta membentuk hakim yang luhur. Dalam Pasal 91 huruf c lalu disebutkan:
Dalam mencapai tujuan tersebut Ikahi memiliki fungsi memberikan rekomendasi kepada majelis kode etik hakim terhadap pelanggaran kode etik profesi dan kode perilaku profesi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kewenangan Ikahi ini justru akan mengancam soliditas para anggota Ikahi karena potensial pengurus Ikahi dapat secara subyektif secara sewenang-wenang menggunakan wewenang tersebut untuk membungkam anggota Ikahi yang kritis memperjuangkan hak-hak sebagai hakim yang mungkin terlanggar oleh tindakan pimpinan pengadilan maupun pimpinan Ikahi," kata ahli perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Senin (30/11/2015).
Saat ini, majelis kode etik hakim dibentuk atas rekomendasi Komisi Yudisial (KY) atau dari pengawasan internal yaitu Badan Pengawas MA. Alhasil, rumusan tersebut merupakan pengaturan yang berpotensi mereduksi ketentuan tentang pengawasan hakim saat ini yang secara internal menjadi tanggung jawab MA dan secara ekternal menjadi tanggung jawab KY.
"Kewenangan Ikahi ini akan dapat mengancam kemandirian dan kemerdekaan hakim," ujar Direktur Puskapsi.
Selain itu, terkait Pasal 89 RUU Jabatan Hakim yang menyebut organisasi profesi hakim yang tidak hanya harus tunggal namun nama organisasinya pun ditunjuk dengan tegas harus bernama Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) merupakan pengaturan yang kurang lazim. Di mana penyebutan nama suatu organisasi atau lembaga dalam UU dengan menggunakan huruf besar akan berimplikasi penamaan di luar nama yang disebutkan oleh UU akan bertentangan dengan UU.
"Harus diperhatikan bahwa UU Jabatan Hakim akan berlaku untuk jangka waktu yang lama, sehingga mengenai penamaan wadah tunggal atau organisasi tunggal itu sebaiknya diserahkan kepada para hakim mengingat hal tersebut merupakan wujud kebebasan pikiran dan kemerdekaan menyampaikan gagasan atau pendapat," papar Bayu.
"Sangat dimungkinkan ke depan para hakim ingin menyesuaikan nama organisasi tunggal ini dengan nama lain yang sesuai dengan kondisi di masa itu," sambung Bayu menyudahi pendapatnya.Β
Naskah akademik RUU Jabatan Hakim ini telah dipresentasikan di depan pimpinan MA pekan lalu yang dibuka oleh Ketua MA Hatta Ali. Ikut hadir dalam seminar itu Wakil Ketua MA bidang Yudisial M Saleh, Wakil Ketua MA bidang Nonyudisial Suwardi, Ketua Kamar Pidana Artidjo Alkostar, Ketua Kamar Militer Timur Manurung, hakim agung Salman Luthan, hakim agung Dudu Duswara dan hakim tinggi di Jakarta serta para ketua pengadilan negeri Jakarta. Ikut hadir pula perwakilan dari pelosok negeri, seperti Ketua PN Dompu (Nusa Tenggara Barat), Djuyamto. Naskah akademik ini juga telah dipresentasikan di DPR. (asp/tor)