"Pesawat ini cocok untuk VVIP kepresidenan," ujar Direktur Produksi Arie Wibowo kepada wartawan usai menemani rombongan calon dubes untuk berbagai negara di PT DI, Jalan Padjadjaran, Bandung, Rabu (25/11/2015).
Meski lisensinya AeroCopter, namun sebagian besar produksi pesawat ini seperti badan pesawat dan ekor dilakukan di PT DI. "Lokal kontennya sekitar 20-30 persen," kata Arie.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arie menjelaskan EC 725 merupakan kerjasama PT DI dengan Airbus Helicopters selama 10 tahun, sejak 2013. PT DI memproduksi bagian badan pesawat atau fuselage dan tail boom (ekor). "Setiap tahun kita kirim ke airbus 10 fuselage dan 15 tail boom," jelasnya. Sementara untuk lisensinya dari UeroCopter, sama dengan Super Puma.
![]() |
Seperti diketahui, tahun depan TNI AU akan menganggarkan pembelian helikopter VVIP kepresidenan. Dikabarkan TNI AU akan membeli helikopter buatan Italia AW101 untuk menggantikan Super Puma yang selama ini dipakai. "Soal ini kita tidak tahu sebenarnya, belum ada informasi soal lelang pengadaan pesawat jenis ini," kata Arie.
Namun, kata Arie, PT DI pada prinsipnya siap apabila pemerintah dalam hal ini TNI AU memutuskan untuk membeli EC-725. "Memang sebaiknya helikopter kepresidenan dibuat di dalam negeri untuk menjaga kerahasiaan," tandas Arie.
Hal itu diamini Direktur Teknologi dan Pengembangan Andi Alisjahbana. Menurutnya promosi produk dalam negeri yang terbaik adalah menggunakan produk sendiri.
Ditambahkan Direktur Komersial dan Restrukturisasi Budiman Saleh, dari segi harga pun jauh lebih murah. Untuk heli EC-725 combat SAR dijual sekitar 25-26 juta euro. Sementara untuk pesawat VVIP kepresidenan, harganya ditambah 10 juta euro. "Jadi ya sekitar 35 juta euro," katanya. Sementara AW-101 sekitar 50 juta euro. (ern/rna)