Demikian disampaikan Humas World Wildlife Fund (WWF) Indonesia di Riau, Syamsidar dalam siaran pers yang diterima detikcom, Selasa (24/11/2015). Syamsidar menyebutkan, bahwa Erwin Daulay, mahout (pawang) tim Elephant Flying Squad adalah orang pertama yang menemukan Tino, mati pada Jumat (20/11) pagi.
Tino ditemukan tidak jauh dari tempat induknya, Ria, ditambatkan di TNTN, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut dijelaskan, dari pemeriksaan dokter hewan yang dipimpin drh Muhclisin dari Dinas Peternakan Kabupaten Pelalawan tidak ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan dan kerusakan pada fisik gajah.
"Tim medis menyatakan, usus Tino terdapat ruam-ruam merah yang diduga akibat penumpukan gas pada ususnya. Penyebabnya banyak faktor, salah satunya bisa disebabkan karena terlalu banyak mengonsumsi rumput muda," kata Syamsidar.
drh Muchlisin menjelaskan, lanjut Syamsidar, gejala penumpukan gas (bloat–red) dalam usus sangat cepat, hanya berlangsung dalam hitungan jam dan memang dapat berakibat fatal bila kondisi tubuh gajah tidak cukup fit misalnya karena faktor cuaca.
Tim gabungan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, Balai TNTN dan WWF Indonesia juga telah menyisir sekitar lokasi kejadian dan tidak menemukan tanda-tanda yang mencurigakan.
![]() |
Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Ir Tandya Tjahjana, menyatakan, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) telah diturunkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap jasad Tino dan lokasi sekitar kematiannya sebagai langkah awal untuk melakukan penyidikan terhadap kematian anak gajah ini.
"Laporan dari petugas kami dan kesimpulan sementara dokter hewan yang melakukan nekropsi tidak menemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Untuk mengetahui secara pasti penyebab kematian Tino, kami mengirimkan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium ke Balai Veteriner Bukit Tinggi," kata Tandya.
Sehari sebelum ditemukan mati, Tino masih menjalankan aktivitas rutin. Ia terlihat lincah berenang dan menyelam ketika semua gajah Flying Squad mandi bersama di Sungai Perbekalan.
Kepala Bidang Teknis BBKSDA Riau, Lukita Awang Nistyantara, menyatakan, ini kali kedua kehilangan anak gajah dari Flying Squad setelah Nela yang ditemukan mati pada Mei 2015.
"Kejadian ini adalah pelajaran berharga bahwa tantangan konservasi gajah masih sangat tinggi untuk menjaga keberlangsungan hidup gajah di Sumatera," kata Lukita.
Musim kemarau yang melanda Riau selama tiga bulan terakhir cukup berpengaruh pada habitat gajah di TNTN. Beberapa kawasan memang sempat terbakar. Pasca kebakaran, kewaspadaan harus selalu dijaga untuk menghindari terjadinya konflik manusia-gajah.
Wishnu Sukmantoro, Program Manager WWF Indonesia Program Sumatera Tengah menyatakan, secara rutin pihaknya melakukan pemeriksaan kesehatan gajah-gajah anggota Flying Squad termasuk ketika kejadian kabut asap September lalu. "Kala itu, catatan medis Tino menunjukkan kondisi baik," terang Wishnu.
"WWF Indonesia berkoordinasi dengan Balai TNTN dan BBKSDA Riau akan lebih meningkatkan pengawasan terhadap gajah-gajah Flying Squad utamanya karena banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan gajah termasuk perubahan cuaca," tutup Wisnu. (cha/try)