Begitu menjejakkan kaki di kawasan panti, lantunan bacaan Alquran langsung menyambut syahdu, Senin (23/11/2015). Murottal menjadi salah satu terapi yang diterapkan oleh panti Hafara pada penghuninya.
Panti ini terletak di Desa Brajan, Tempuran, RT 8 Tamantirto, Kasihan, Bantul. Berada di sebelah barat Kota Yogyakarta, keberadaan panti ini jauh dari keramaian kota. Pendirinya, Chabib Wibowo (37), menceritakan kondisi panti yang berdiri pada tahun 2004 ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini, ada 30 orang dewasa dengan gangguan jiwa dan 8 anak terlantar bernaung panti Hafara.
Sedangkan 32 orang dewasa kini dirawat di RS Ghrasia Yogyakarta dan 50 anak bersama keluarga yang berada di bawah dampingan Panti Hafara.
Sedangkan 32 orang dewasa kini dirawat di RS Ghrasia Yogyakarta dan 50 anak bersama keluarga yang berada di bawah dampingan Panti Hafara.
Beberapa dari mereka tampak duduk di pendopo, sebagian yang lain di saung bambu di sebelahnya. Kebanyakan hanya terdiam, tak ada obrolan. Pandangan mata pun kosong.
"Kalau ada info orang gila atau jenazah terlantar, tim akan langsung jemput. Pertama kita langsung bawa ke rumah sakit," kata Chabib.
Di sisi timur dan utara terdapat sederet kamar para penghuni dewasa. Sedangkan pondok untuk anak-anak lelaki ada di ujung timur lahan milik kas desa ini.
Semua bangunan semi permanen. Selain bangunan khusus anak-anak, kamar 'pasien' luasnya rata-rata 2x4 meter. Kondisinya secara keseluruhan sangat memprihatinkan.
Berlantai plesteran semen, antara dinding dan genting terdapat celah terbuka yang membuat air hujan kadang masuk karena angin.
"Kamarnya di sini ada 20-an. Ya begini kondisinya, sedikit-sedikit ada pemasukan, kami bangun terus," kata Chabib.
![]() |
Begitu adzan Dzuhur berkumandang, mereka bergegas mengambil air wudlu dan salat berjamaah di pendopo.
"Sekarang mereka sudah tertib, begitu adzan langsung salat. Dulu susah sekali, harus berantem," tuturnya sambil tertawa.
Selain obat-obatan medis, Chabib menggunakan pendekatan agama untuk menyembuhkan 'pasien-pasiennya'.
"Walaupun kondisi mereka begini, fisiknya untuk ibadah lebih kuat dari kita. Jam 03.00 WIB bangun salat tahajud, dzikir, sampai salat subuh, nanti salat dhuha," imbuh Chabib.
Perjalanan berliku Chabib mendirikan panti ini tak mudah. Pria yang menghabiskan masa mudanya di jalanan mengalami titik balik yang membawanya menjadi 'Babe' bagi puluhan orang jalanan.
Ratusan anak jalanan saat itu bergabung dengan Chabib, berniat sembuh dari kebiasaan-kebiasaan negatif. Chabib tak ingin keberadaannya dan rumah singgah Hafara malah menjadi image yang buruk. Saat itu Hafara masih berada di tanah sitaan bank di kawasan Gonjen, Tamantirto seluas 1.000 meter persegi.
"Ada 100-an orang awalnya. Tapi setahun kemudian (2005), saya bilang kita harus berusaha benar-benar sembuh. Akhirnya kita saring 70-an orang yang ingin sembuh," kata Chabib.
Hingga akhirnya sampai saat ini sudah 6 tahun Panti Hafara menempati tanah kas desa Brajan.
"Bayar sewanya Rp 8 juta per 2 tahun," tuturnya.
Selain Chabib, terdapat 15 orang lainnya yang bertugas sebagai pendamping, sekretariatan, bendahara, dan seorang psikolog. Jumlah ini masih kurang memenuhi kebutuhan Panti Hafara.
"Tapi uangnya terbatas. Sebetulnya kami butuh bantuan (tenaga) lagi. Rata-rata mendapat uang transport Rp 15 ribu tiap harinya," kata Chabib.
(sip/try)