Sejak dikeluarkan Perma tersebut pada September 2015 hingga November ini baru ada 1 perkara yang diselasaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Gugatan small claim court pertama kali di Jakarta itu adalah perkara utang pituang senilai Rp 170 juta.
"Sampai hari ini baru 1 perkara yang kami putus," ujar humas PN Jakpus, Bambang Kustopo, di kantornya, Jl Bungur Raya, Senin (23/11/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang mengatakan, proses sidang small claim court sama seperti sidang perdata pada umumnya. Para pihak dipanggil dalam sidang perdana, lalu dalam sidang kedua pihak menyampaikan jawaban hingga ke tahap pembuktian dan pemanggilan saksi.Β
Yang berbeda hanyalah jumlah hakim dalam small claim court hanya dipimpin hakim tunggal. Selain itu, bila penyelesaian perdata memakan waktu 6 bulan sampai 1 tahun lebih, dalam small claim court ini cukup diselesaikan dalam waktu 25 hari.
"Tidak sampai 25 hari kita putus, untuk perkaranya jenis utang-piutang antara perusahaan melawan karyawannya. Dalam perkara ini, penggugat (perusahaan) menang melawan tergugat (karyawan)," ujar Bambang.
Hingga hari ini, belum ada yang menggunakan sarana small claim court lagi karena berkas gugatan belum ada lagi yang memenuhi syarat Perma, salah satunya adalah nilai gugatan harus di bawah Rp 200 juta. Apakah gugatan sederhana ini tidak banyak peminat? Atas pertanyaan itu Bambang tidak bisa menjawabnya. Dia lebih memilih berkomentar diplomatis.
"Saya enggak bisa bilang apakah laku atau enggak. Saya sebagai hakim hanya berhak menyidangkan suatu perkara dan memutusnya," pungkasnya.
Perma ini menumbangkan hukum kolonial Belanda di bidang keperdataan. Dalam hukum perdata warisan penjajahan Belanda ini, semua sengketa perdata tidak dibatasi waktu dan nilai gugatannya. Akibatnya, banyak kasus perdata yang nilainya kecil tetapi proses hukumnya lama dan berbelit. Acapkali butuh waktu bertahun-tahun untuk perkara yang nilainya sederhana. Perma ini merupakan langkah revolusioner di bidang hukum keperdataan. (rvk/asp)