Hal itu merupakan ide dari Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Ada arti tersendiri di balik pemasangan tersebut.
"Caping itu kan lambang. Kalau dalam sisi aspek manfaatkan petani yang biasa menggunakan itu. Lalu yang kedua, bentuk caping, gunung. Itu kan nilai-nilai spiritualitas. Jadi bahwa manusia itu ketika di bawah itu sangat luas," kata Dedi saat ditemui detikcom di Kantor Bupati Purwakarta, Jl Gandanegara no 25, Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (19/11/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dedi menjelaskan, orang sunda setiap menggembala kerbau, kambing, dan menanam padi menggunakan caping. Caping tersebut juga memiliki arti khusus baginya.
"Orang Sunda sudah memposisikan diri saat dia pakai caping ketika dia gembala kerbau, menanam padi, jadi artinya ketika sudah melakukan aksi sosial. Bagi dia sudah berketuhanan," tambah Dedi.
![]() |
Berketuhanan, lanjut Dedi, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tidak selalu dengan duduk kemudian berdoa dan meneteskan air mata.
"Tapi kan kalau misalnya di kita banyak gandrung dengan tarian Jalaluddin Rumi (tokoh sufi) kita gak aneh. Jalaluddin kan membuat kekhususan beribadah dengan bergerak, berputar. Orang Sunda kan tiap hari nanam padi. Bukan pada memposisikan diri pada personality untuk memuja Allah loh," tuturnya.
Makna berketuhanan juga sangat diresapi sekali oleh orang sunda. Seperti berzikir, tidak harus menggunakan tasbih atau berkomat-kamit.
"Orang Sunda membangun zikir sudah dalam siklus alam. Dia dengar air saja berzikirnya luar biasa," tutupnya. (yds/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini