Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan merevisi aturan korban salah tangkap maksimal mendapat ganti rugi Rp 1 juta atau Rp 3 juta bagi yang meninggal dunia. Aturan ini telah berumur 32 tahun.
Tim perumus yang dibentuk Kemenkum HAM berdebat alot soal berapa besaran rupiah ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, korban salah tangkap/peradilan sesat diberi ganti rugi rentang Rp 5 ribu hingga Rp 1 juta. Jika korban tersebut mengalami luka serius/meninggal dunia, maka diganti Rp 3 juta.

"Kalau berapa besar nilai rupiah yang memuaskan, jawabannya ya berapa besar pun nilainya, tidak akan pernah puas," kata peserta expert meeting revisi PP 27/1983, Yenti Garnasih, di Gedung Kemenkum HAM, Jalan Rasuna Said, Rabu (18/11/2015).
Hadir dalam pertemuan itu Prof Dr Adji Samekto (Guru besar dan Ketua Program Doktor Hukum Undip, Semarang), Prof Dr Hartiwiningsih (Guru besar UNS, Solo), Dr Yenti Garnasih (Universitas Trisakti, Jakarta), M Nur Sholikin (Direktur Eksekutif PSHK), Dr Bayu Dwi Anggono (Direktur Puskapsi Universitas Jember), Dr Ilham Hermawan (FH Univ. Pancasila, Jakarta), Alvon Kurnia Palma (Direktur YLBHI), Andi Saputra (masyarakat, wartawan detikcom) dan Lucky Respati (FH Univ. Andalas, Padang).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Oleh sebab itu, konsep dalam KUHP memang ganti rugi, bukan kompensasi," kata Lucky Respati.
Tim perumus berdebat panjang, berapa parameter yang pantas dijadikan acuan. Jika merujuk ke UU Kehutanan, pelaku kejahatan kehutanan bisa didenda sampai Rp 15 miliar rupiah. Jika di UU Perlindungan Konsumen, maka produsen yang membuat produk mengakibatkan sakit bagi konsumen, harus mengganti Rp 200 juta.
Sempat muncul pula argumen untuk memberikan ganti rugi dengan parameter upah minimum provinsi. Tapi usulan itu ditolak keras oleh Direktur YLBHI, Alvon Kurnia Palma. Sebab UMP hanyalah menghitung biaya hidup minimal seorang lajang. Bagaimana jika korban salah tangkap/korban peradilan sesat memiliki istri dan anak. Patokan UMP ini lalu dinilai tidak memberikan rasa keadilan, dibandingkan dengan penderitaan korban salah tangkap/peradilan sesat.
Tim perumus juga menilik kasus-kasus yang memiliki kedekatan/kemiripan dengan salah tangkap. Seperti kasus salah sita di Karo, Sumatera Utara. Negara dihukum Rp 30 juta karena salah sita truk yang tidak terlibat kecelakaan, tetapi tetap disita untuk bukti kecelakaan. Hal itu tertuang dalam putusan PN Kapanjahe Nomor 02/Pdt.G/2015/PN.Kbj.
Ada pula putusan kasus salah sita KPK terkait uang dan laptop hakim PN Jakpus Syarifuddin yang dihukum 4 tahun penjara. MA lalu menghukum KPK sebanyak Rp 100 juta (lihat putusan MA Nomor 2580 K/Pdt/2013).
Namun rujukan MA tidak selamanya konsisten. Pada putusan kasus salah sita truk terkait illegal loging di Negara, Bali, MA menyatakan negara salah menyita sebuah truk karena ternyata truk hanyalah sewaan dan bukan dari bagian kejahatan. Tapi amar MA hanya mengembalikan truk ke pemilik truk. Gugatan kerugian materiil dan immateril sebesar Rp 400 juta tidak dikabulkan MA (Lihat putusan MA Nomor 2197 K/Pdt/2012).
Setelah merujuk banyak UU, argumen hukum hingga kasus-kasus terkait, tim perumus lalu merujuk ke UU Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 37 ayat 3, setiap orang yang membuat mati saksi/korban, didenda minimal Rp 80 juta dan maksimal Rp 500 juta. UU ini dinilai yang paling rasional, meski bukan angka penebus penderitaan yang nyata.
Selain itu, dipilihlah konversi harga emas sebagai patokan sehingga terumus korban salah tangkap/korban peradilan sesat diberi ganti rugi minimal Rp 500 ribu dan maksimal Rp 100 juta. Jika korban mengalami luka fisik/cacat permanen/mati maka diberi ganti rugi minimal Rp 25 juta dan maksimal Rp 300 juta.
Bagi korban salah tangkap/korban peradilan sesat sampai meninggal dunia, maka negara wajib memberikan ganti rugi minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 600 juta atau dua kali dari yang mengalami luka fisik/cacat permanen.
Tapi masih pantaskan Rp 600 juta? Tenang, usulan ini masih digodok oleh Kemenkum HAM. Pemerintah mengundang pendapat publik untuk ikut berperan serta menghitung ulang nilai ganti rugi yang pantas bagi korban salah tangkap/korban peradilan sesat. Masukan ini diminta disertai dengan argumen yang logis ke alamat email: subdit.metode@gmail.com atau melalui website Ditjen PP di ditjen.kemenkumham.go.id.
Usulan ini akan disampaikan ke Menkum HAM Yasonna Laoly dan akan dilakukan rapat antar kementerian pekan depan. Kemenkum HAM menjanjikan sebelum terbit fajar Hari HAM Internasional, revisi ini akan diundangkan.

"Dalam waktu dekat ini kami harapkan selesai dan menjadi hadiah pada Hari HAM 10 Desember 2015. Kemenkum HAM memberikan ini untuk melindungi mereka yang salah tangkap," ujar Dirjen PP Prof Widodo Ekatjahjana berjanji.