Jakarta - Sejumlah intelektual beken mengiklankan dirinya mendukung penuh kenaikan harga BBM. Meski biaya yang dikeluarkan lumayan gede, mereka membantah ada intervensi pemerintah.Iklan di Harian Kompas (26/2/2005) bertajuk '
Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?' memang cukup menggelitik perhatian masyarakat. Selain menghabiskan 1 halaman penuh koran tersebut, iklan yang dipersembahkan oleh
Freedom Institute itu juga menampilkan nama-nama intelektual yang selama dikenal kerap mengkritik kebijakan pemerintah.Intelektual yang namanya tercantum dalam iklan tersebut berjumlah 36 orang. Mereka antara lain, Agus Sudibyo. Andi Malarangeng, Anggito Abimanyu, Ayu Utami, Bimo Nugroho, Dino Patti Djalal, Fikri Jufri, Franz Magnis Suseno, Goenawan Mohamad, Ichsan Loulembah, Lin Che Wei, Rahman Tolleng, Mohamad Hidayat, Todung Mulya Lubis dan Ulil Abshar Abdalla.Dalam iklan itu disebutkan mengapa mereka mendukung kebijakan pemerintah yang tidak populer tersebut. Alasan utama mereka adalah subsidi BBM selama ini salah sasaran. Subsidi BBM dari pemerintah selama ini juga hanya menyenangkan para penyelundup minyak.
Lihatlah faktanya. Dengan harga minyak dunia sekarang, subsidi BBM akan mencapai Rp 70 triliun. Artinya negara harus menghabiskan hampir Rp 200 miliar setiap hari hanya untuk menyangga harga BBM. Berapa sekolah dan puskesmas, yang dapat kita bangun setiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan, dengan dana sebesar itu?Kalau untuk kebijakan yang tepat dan mendorong kemajuan bersama, kita masih bisa setuju. Tapi subsidi BBM selama ini tidak demikian. Harga yang ditekan terlalu rendah tidak mendorong perilaku ekonomi yang hemat dan rasional. Selain itu rendahnya harga domestik dibanding harga internasional mendorong merebaknya penyelundupan BBM. Demikian bunyi kutipan sebagian iklan kaum intelektual tersebut.Direktur Freedom Institute, Ulil Abshar Abdalla mengatakan, kebijakan pemerintah ini memang bukan pilihan yang terbaik. Namun, sambungnya, pemerintah saat ini berada dalam posisi yang sangat dilematis. Pemerintah tidak sedang dihadapkan pada posisi yang baik dan buruk."Dan menurut pandangan kami dampak buruk pencabutan subsidi lebih sedikit dari pada tidak dicabut," kata Ulil Abshar Abdalla saat berbincang-bindang dengan
detikcom, melalui sambungan telepon, Rabu (2/3/2005) malam.Selanjutnya Ulil menjelaskan, bagaimana iklan tersebut lahir. Menurut Ulil, ide iklan tersebut dipelopori sendiri oleh Freedom Institute. Semua tokoh yang terlibat diajak dengan sukarela tanpa iming-iming. Sejak awal, kata Ulil, tokoh-tokoh tersebut memang memiliki pendapat yang sama, yakni meyetujui pengurangan subsidi BBM.Sebagai contoh, Franz Magnis Suseno. Menurut Ulil, pria yang akrab disapa Romo Magnis ini sebelumnya pernah membuat tulisan tentang dukungannya terhadap pengurangan subsidi BBM. Karena itu tidak sulit bagi Freedom Institute untuk merangkul para tokoh tersebut mendukung pemerintah. Hanya butuh dua hari sebelum para tokoh itu menandatangani setuju beriklan.Freedom Institute nampaknya juga benar-benar yakin langkah pengurangan subsidi yang dilakukan pemerintah itu memang tepat. Buktinya mereka rela mengeluarkan dana yang lumayan gede. Untuk urusan pemasangan iklan ini, Ulil menyebut angka 290 juta perak."Itu memang ide dari kami dan tidak ada sama sekali pesan atau titipan dari pemerintah. Meski Freedom Institute ini dibiayai oleh Pak Ical (Aburizal), tetapi kita tetap independen. Itu murni, seperti iklan-iklan yang sudah kita buat yakni iklan buku dan sebagainya," ungkap Ulil.Sementara itu, Direktur The Indonesian Institute, Jefrie Geovanie, yang juga salah seorang pendukung iklan, mengaku melihat kepentingan jangka panjangnya bagi rakyat kecil. Jefrie juga mengatakan, pemerintah harus diberi kepercayaan atas keputusan menaikkan BBM yang sebenarnya lebih banyak resikonya itu."Saya juga mengkritisi pemerintah agar benar-benar mengalokasikan subsidi BBM itu. Jangan sampai justru timbul lahan-lahan korupsi baru. Sebab jika gagal, masyarakat akan memberikan hukuman kepada pemerintah," demikian Jefrie.Jefrie memang benar, rakyat tentu akan meminta pertanggungjawaban pemerintah atas kebijakannya tersebut. Termasuk juga, pertanggungjawaban moral terhadap mereka yang mendukung kenaikkan BBM itu sendiri.Seperti disampaikan sejumlah intelektual lainnya, awal pekan lalu di Kafe Venezia, TIM, Jakarta, pernyataan dukungan tersebut menyesatkan. Pasalnya, alasan yang menjadi dasar dukungan tersebut masih perlu dibuktikan kebenarannya.Forum yang antara lain diikuti oleh Andrinof A. Chaniago (Pengajar Ekonomi Politik UI), Amir Hussin Daulay (Gerakan Rakyat untuk Demokrasi), Farid Gaban (Reform Institute) serta Indra J Piliang (CSIS) menyatakan, dukungan tersebut tidak memperhitungkan bagaimana kebijakan harus dibuat dandiimplementasikan.Dukungan itu juga tidak memperhitungkan, bahkan dengan nilai ekonomis sekalipun, biaya atau timbulnya gejolak, penyelewengan, moral hazard, korupsi, yang masih sangat mungkin terjadi dalam situasi sekarang. Biaya tersebut tentu akan diambil dari modal yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kepentingan masyarakat.
(djo/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini