Dwinandini yang biasa dipanggil Anin mengatakan Gusti Nurul sebagai sosok perempuan yang baik dan penuh perhatian kepada semua orang. Kasih sayang diberikan pada siapapun tanpa melihat status sosial.
"Eyang nggak pernah merasa statusnya lebih tinggi dari orang lain hanya karena beliau puteri raja," ucap Anin kepada detikcom, Jumat (13/11/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anin juga masih ingat saat masih kecil, Gusti Nurul begitu sayang padanya. Hal yang paling diingatnya adalah saat dia merengek meminta sesuatu namun tak diberikan oleh sang ibu, maka Gusti Nurul diam-diam memberikannya.
"Eyang juga termasuk yang memanjakan cucu-cucunya. Kadang kalau saya kecil minta beli mainan, mama saya melarang tapi diam-diam eyang ajak saya ambil mainan dan bawa ke kasir untuk dibayar. "Kasihan. Sini Eyang saja yang belikan" kata Anin.
"Dulu waktu cucu-cucu masih kecil dan eyang masih aktif. Hampir setiap minggu selalu ada acara dirumah, kadang arisan atau kumpul-kumpul teman-teman eyang. Kami senang sekali karena banyak makanan dan kue-kue," tambah Anin.
Sebelum meninggal, ada pesan terakhir yang sempat disampaikan Gusti Nurul kepada keluarga, yakni ingin agar ulang tahunnya yang ke-94 tanggal 17 September lalu dirayakan secara sederhana. Dia ingin lebih akrab dan dekat dengan keluarga dan sahabat di hari lahirnya itu.
"Pesan terakhir hanya eyang minta ulang tahunnya yang ke-94 kemarin di rayakan di rumah. Minta semua keluarga kumpul dan undang beberapa kerabat dan teman-teman. Alhamdulillah, kami sudah penuhi permintaan eyang," ujar Anin.
Gusti Nurul tutup usia Selasa (10/11/2015) lalu di RS Boromeus Bandung. Dia menggenapkan usia hingga 94 tahun dengan meninggalkan 7 orang anak, 14 cucu dan 1 cicit. Di masa mudanya nama Gusti Nurul tersohor karena kecantikan, kecerdasan, dan keteguhannya memegang sikap. Dia mendapat julukan 'De Bloem van Mangkunegaran' atau kembang dari Mangkunegaran.
Meskipun dibesarkan di dalam istana kerajaan lekat dengan pandangan tradisional, Gusti Nurul lebih memilih hidup dengan pemikiran yang melampaui jamannya. Dia menentang keras praktik poligami. Dia dengan tegas menolak lamaran Bung Karno, Sutan Syahrir, Sultan Hamengku Buwono IX, maupun Pangeran Djati Kusumo (KSAD pertama, Putra Susuhunan Paku Buwono X).
![]() |